Beluk, Acapella Tradisional Khas Sunda


Ketika membaca kata Acapella, pikiran kita terlintas pada bayangan musik modern atau berasal dari luar negeri yang sudah muncul beberapa tahun kebelakang. Acapella merupakan jenis musik vokal yang tidak menggunakan instrumen apapun, hanya dengan menggunakan suara penyanyinya. Jenis musik vokal ini nyatanya tumbuh di tanah Sunda dengan nama Beluk yang telah berkembang ratusan tahun lalu.

Kata Beluk berasal dari akar kata Ba dan aluk. Ba artinya besar dan aluk artinya gorowok (teriak) atau dengan kata lain Aluk merupakan pemberitahuan pada tetangga sekampung yang biasanya ada dalam acara syukuran bayi 40 hari-an, pernikahan atau sunatan. Hal ini percaya akan memperoleh berkah dalam hidupnya.

Sejarah Beluk

Beluk lahir di daerah Jawa Barat dan Banten pada masyarakat ladang yang pekerjaan sehari harinya menaman padi dengan berhuma. Dahulu, daerahnya masih hutan belantara dengan jarak satu huma dan huma lainnya berjauhan. Oleh karena itu, komunikasi antar petani menggunakan suara yang berfrekuensi tinggi (meluk) hingga terdengar saling bersahutan.

Selain itu, hidup di hutan belantara banyak hewan buas yang menggangu penduduk. Pernah ada anak yang berusia lima tahun dimangsa binatang buas. Hal ini lah yang menyebabkan keharusan menunggu anak yang berumur 40harian secara bergantian. Untuk rnenghilangkan rasa kantuk mereka bernyanyi pupuh menghibur dan secara bergantian dengan menggunakan suara tinggi.

Aturan Seni Beluk

Jelasnya, kesenian tradisional ini tidak menembangkan atau menyanyikan syair, namun hanya membacanya dengan memainkan tinggi rendahnya frekuensi suara sehingga berliku-liku. Syair yang biasa digunakan dalam pementasan seni Beluk harus berasal dari naskah-naskah yang bersumber dari Carita Babad, Wawacan.

Beberapa wawacan yang ada pun beragam yaitu Angling Dharama, Arjuna, Sasrabahu, Danu Maya, Damar Wulan, Sangkuriang dan lainnya. Beluk sangat erat kaitannya dengan wawacan dan tidak terlepas dari aturan pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dandanggula.

Pemain kesenian ini biasanya memerlukan empat orang yang masing-masingnya memiliki peranan penting. Pemain menggunakan busana khas yang terdiri dari ikat kepala, baju kampret, sarung batik dan celana pangsi serta biasanya ada sesajen lengkap atau "parawanten".

Melansir dari komunitasaleut.com, posisi dari empat pemain Beluk ini sebagai berikut:

1. Tukang ngilo: pembaca syair secara naratif. Pembacaan dilakukan dalam tempo sedang dengan artikulasi yang jelas dan dibacakan per padalisan (baris).

2. Tukang ngajual: menyanyikan syair yang sudah dibaca tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, namun cara menyanyikannya tanpa ornamen.

3. Tukang meuli: melanjutkan sajian tukang ngajual dengan tambahan ornamen pelengkap. Ornamen ini merupakan penambahan beberapa nada atau notasi pada melodi.

4. Tukang naekeun: melanjutkan sajian tukang meuli dengan nada-nada tinggi dan meliuk-liuk. Di bagian ini ornamentasi vokal sangat dominan sehingga artikulasi tidak diutamakan dan bisa menjadi sangat kabur.

Setiap tukang naekeun menyelesaikan satu bait, seluruh hadirin dan para penyaji lainnya memungkas lagu secara secara bersama. Pembagian peranan dalam penyajian beluk juga memberi ciri masyarakat agraris yang senang bergotong-royong, bekerja-sama dan berkomunikasi secara harmonis.

Adakah wargi Garut yang pernah melihat kesenian Beluk?

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka