Menelusuri Jejak Sejarah Garut Lewat Cerita Babad

Menelusuri Jejak Sejarah Garut Lewat Cerita Babad

Babad merupakan salah satu jenis karya sastra yang mengandung unsur sejarah. Biasanya, babad menceritakan latar belakang sejarah dengan merunutkannya berdasarkan bukti dan fakta sesuai zamannya. Sejarah suatu tempat atau daerah adalah hal paling umum yang ada dalam cerita babad.

Hal itu membuat cerita babad memiliki jejak sejarahnya tersendiri yang menarik untuk ditelusuri. Termasuk jejak sejarah di Kabupaten Garut yang dapat ditilik melalui dua cerita babad, yaitu Babad Limbangan dan Babad Godog.

Babad Limbangan

Babad limbangan mengisahkan tentang asal-usul penguasa Limbangan. Selain itu, dalam Babad Limbangan juga menceritakan tentang asal-usul penamaan tempat di sekitar Garut. Naskah ini ditulis dengan menggunakan huruf Arab Pegon dalam Bahasa Sunda. Medianya berupa kertas putih bergaris dengan ukuran 23 x 35 cm.

Cerita berpusat pada Prabu Siliwangi yang ingin memperistri putri penguasa Limbangan. Pada suatu hari, Aki Panyumpit mencium wewangian di sebuah gunung, dekat sungai Cipancar. Wewangian tersebut berasal dari Nyi Putri, putri Sunan Rumenggong, penguasa Limbangan. Kemudian, Aki Panyumpit melaporkan kejadian tersebut kepada Prabu Siliwangi. Setelahnya, sang Prabu memberi nama gunung tersebut Gunung Haruman (wangi).

Mendengar kabar tentang kecantikannya, Prabu Siliwangi bermaksud untuk meminang Nyi Putri. Namun, Nyi Putri menolak pinangan Prabu Siliwangi karena sang Prabu sudah memiliki lebih dari 100 istri. Nyi putri kabur dan menghilang dengan hanya meninggalkan jejak wewangian, tempat itu kini memiliki nama Buniwangi.

Hanya saja, dengan bujukan sang Ayah, Nyi Putri akhirnya menerima pinangan sang Prabu. Mereka memiliki dua orang putra, yang nantinya akan menjadi pemimpin di Limbangan dan Dayeuh Manggung.

Babad Godog

Babad Godog adalah sebuah naskah yang menceritakan tentang kisah Kian Santang, putra Prabu Siliwangi pada masa awal-awal penyebaran Agama Islam di tanah Pasundan. Cerita ini diawali oleh Kian Santang yang memiliki keinginan untuk melihat darahnya sendiri, karena dia tidak pernah kalah dalam pertarungan. Seorang ahli nujum kemudian mengatakan jika satu-satunya orang yang dapat mengalahkan Kian Santang adalah Ali dari Mekkah.

Berbekal informasi tersebut, Kian Santang kemudian melakukan perjalanan untuk menemui Ali. Dalam perjalanannya, Kian Santang bertemu dengan seorang perempuan. Perempuan tersebut memintanya untuk mengambilkan bintang. Tempat itu kemudian diberi nama Curug Sanghyang Taraje.

Setelah melanjutkan perjalanan, Kian Santang kemudian bertemu dengan seorang kakek-kakek yang mengaku mengetahui keberadaan Ali. Namun sebelumnya, sang kakek menyuruh Kian Santang untuk mencabut tongkatnya yang tertancap di tanah.

Sayangnya, Kian Santang tidak bisa mencabut tongkat tersebut. Usut punya usut, kakek-kakek tersebut adalah Ali. Pada akhirnya, Kian Santang mengaku kalah dan masuk Islam. Ini adalah peristiwa penting ketika Kerajaan Hindu Padjadjaran runtuh sebelum kemudian tergantikan dengan Kerajaan Islam di tanah Pasundan.

Kian Santang menghembuskan napas terakhirnya dan dimakamkan di Makam Godog. Makam Godog berlokasi di Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan, Garut. Hingga saat ini, banyak peziarah yang mendatangi makam Kian Santang di Godog.


Baca lainnya

0 Komentar :

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.