Gelombang Demonstrasi Revisi UU Pilkada: Kekerasan, Intimidasi, dan Trauma Bagi Warga


Gelombang demonstrasi yang dimulai pada 22 Agustus 2024 menolak revisi UU Pilkada terus memanas, dengan berbagai insiden kekerasan dan penangkapan terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia. Para pengunjuk rasa, yang awalnya menyuarakan penolakan damai, akhirnya terlibat bentrokan dengan aparat yang merespons dengan tindakan represif.

 

Demonstrasi dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap rencana revisi UU Pilkada yang dianggap tidak demokratis. Aksi unjuk rasa ini kemudian meluas di berbagai daerah, termasuk Jakarta, Bandung, dan Semarang. Bentrokan dengan aparat terjadi, mengakibatkan kekerasan, penangkapan massal, dan luka-luka serius bagi pengunjuk rasa.

 

Pengunjuk rasa, aparat kepolisian, jurnalis, serta beberapa pengamat HAM dan kepolisian turut menyoroti perkembangan situasi. Ratusan pengunjuk rasa ditangkap, sebagian di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka, dan beberapa mengalami luka serius akibat kekerasan.

 

Demonstrasi berlangsung di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Semarang. Di Bandung, salah satu pengunjuk rasa, Andi Andriana, mengalami cedera parah pada mata akibat lemparan batu yang diduga berasal dari barisan polisi. Sementara itu, di Semarang, lebih dari 30 orang harus dilarikan ke rumah sakit akibat gas air mata dan bentrokan fisik.

 

Massa menolak revisi UU Pilkada karena dianggap membatasi partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Selain itu, demonstran juga menuntut pengesahan UU Perampasan Aset serta menolak revisi UU TNI/Polri. Ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah menjadi pemicu utama aksi massa.

 

Aksi Kekerasan

Aparat kepolisian menggunakan gas air mata, meriam air, dan kekerasan fisik untuk membubarkan massa. Beberapa pengunjuk rasa mengalami luka serius, seperti Deti Sopandi yang masih merasakan pusing dan nyeri akibat kekerasan yang dialaminya. Di Semarang, gas air mata menyebar hingga ke area pemukiman, mengakibatkan anak-anak juga terkena dampaknya.

  

Intimidasi terhadap Jurnalis

Alza Ahdira, seorang jurnalis yang bertugas di Bandung, mengungkapkan adanya tindakan intimidasi terhadap dirinya dan rekan-rekan jurnalis lainnya ketika massa mulai bertindak anarkis dan aparat melakukan pembubaran secara paksa.

 

Trauma dan Penangkapan Massal

Ratusan pengunjuk rasa ditangkap oleh polisi. Banyak dari mereka yang diintimidasi, ditahan, dan diinterogasi secara agresif. Di Jakarta, demonstrasi berujung pada penangkapan besar-besaran dengan tuduhan provokasi dan perusakan fasilitas umum.

 

Korban Luka Serius

Selain Andi Andriana yang terancam buta, beberapa korban lain juga mengalami luka berat seperti kepala bocor dan sesak napas akibat paparan gas air mata yang digunakan secara berlebihan oleh aparat. Mal Paragon di Semarang bahkan menjadi zona aman bagi pengunjuk rasa yang mencoba berlindung dari efek gas air mata.

 

Pendekatan represif polisi telah memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk aktivis HAM yang menyebut tindakan ini melanggar hak asasi manusia dan mencederai demokrasi. Banyak yang mendesak pemerintah untuk mengevaluasi cara penanganan demonstrasi agar lebih humanis dan tidak melibatkan kekerasan yang berlebihan.

 

Demonstrasi ini tidak hanya meninggalkan luka fisik bagi para pengunjuk rasa, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam bagi mereka yang terlibat.


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka