Garut Pasca Kemerdekaan Indonesia (1947 - 1948)


Hasil sidang PPKI kedua yang dilaksanakan pada 19 Agustus 1945 menyebutkan bahwa wilayah Indonesia terbagi menjadi delapan provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Setiap provinisi akan dipimpin oleh gubernur yang bertugas untuk menata pemerintahan setiap daerahnya. Pemerintah pusat-pun memberikan perintah untuk kota/kabupaten untuk mengatur daerahnya sendiri.

Berdasarkan instruksi dari pemerintah pusat, Komite Nasional Daerah Garut didirikan pada 2 September 1945 yang memiliki tujuh anggota yakni K.H Musadad, Yusuf Tauziri, Dana Atmaja, Surawijaya, Wira, Muh. Fari dan Ganda. Berdasarkan rapat komite tersebut menunjuk Rd. Kalih Wiriaatmadja sebagai Bupati Garut. untuk melaksanakan tugasnya sebagai Komite Nasional Daerah, para anggota menjelaskan kepada masyarakat Garut untuk menerima dan mendukung kemerdekaan Indonesia, kemudia Komite Daerah Nasional ini membentuk Badan Keamanan Rakyat.

Pada 21 Juli 1947 ketika Kabupaten Garut membangun pemerintahannya tiba-tiba terjadi Agresi Militer Belanda I sehingga para tentara Belanda mulai memasuki Garut melalui jalur Japati, Pangalengan dan Cikajang. Ketika para tentara Belanda memasuki Garut mereka ditemani oleh angkatan udara dan para tentara Belanda yang menggunakan parasut mendarat di Alun-Alun Jayaraga. Para tentara Belanda menduduki Garut pada 10 Agustus 1947 dan melakukan pengeboman di beberapa daerah seperti di Pabrik Dodol Amat, Hotel Bunga Melati dan Pabrik Sabun Nansen.

Para tentara Belanda mengancam anggota pemerintah, pejuang dan masyarakat Garut yang setia kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk segera meninggalkan Garut, jika mereka tidak mematuhi ancaman ini maka para tentara Belanda akan memberikan hukuman. Karena ancaman tersebut para pemerintah, pejuang dan masyarakat Garut mengungsi ke area selatan Garut, Bungbulang. Selain ke arah selatan, para masyarkat Garut juga mengungsi ke area timur, barat dan utara. Sebelum mereka mengungsi, masyarakat Garut menghancurkan bangunan-bangunan yang didirikan oleh Belanda seperti stasiun kereta, Hotel Papandayan dan Hotel Ngamplang.

Masyarakat Garut bersama para pejuang melakukan perang gerilya melawan tentara Belanda yang menduduki Garut. Mereka ber-gerilya di Cilawu, Dayeuhmanggung dan Gunung Cikuray. Untuk menghalau serangan gerilya yang diberikan oleh masyarakat Garut tentara Belanda menempatkan anggota keamanannya di perbatasan Kota Garut (Cimaragas) dengan menyediakan berbagai macam senjata.

Kehidupan sosial dan ekonomi di Garut pasca kemerdekaan sedikit berubah bila dibandingkan dengan keadaan masa pendudukan Jepang. Di masa pendudukan Jepang, masyarkat Garut berada di dalam tingkat kemiskinan yang luar biasa dan menderita. Sumber daya alam Garut dimanfaatkan Jepang untuk masalah militernya.

 

Di masa pasca kemerdekaan masyarakat Garut tidak semenderita ketika masa pendudukan Jepang, namun ketidakpastian ekonomi dan ketidakstabilan kehidupan sosial karena masyarakat dan juga pemerintah memokuskan untuk mempertahankan kemerdakaan Indonesia.


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka