Pakar Sejarah Unpad: Pertumbuhan Garut Tak Terkendali, Tata Kotanya jadi Semrawut

Pakar Sejarah Unpad: Pertumbuhan Garut Tak Terkendali, Tata Kotanya jadi Semrawut

Pakar Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Kunto Sofianto, M.Hum., PhD, mengungkapkan ada beberapa faktor yang dinilai berubah dari pengembangan Garut di era awal dengan di era pascakemerdekaan.

Padahal, menurutnya perkembangan fisik Kota Garut sejak awal, terutama pada tahun 1821-1942 sangat teratur, rapi dan terencana. Maka tak heran jika Garut mendapat julukan "Swiss van Java". 

Prof. Kunto menyebutkan setidaknya terdapat tiga faktor yang dinilai berubah dari pengembangan Garut yakni dari sisi bangunan, ruang dan rasa memiliki warganya.

“Pertumbuhan Kota Garut setelah kemerdekaan tidak terkendali sehingga wajah tata-kotanya menjadi semrawut. Banyak gedung warisan masa lalu sebagai heritage tidak terurus atau dibongkar tanpa mengindahkan aspek historisnya. Tentu saja, keaslian tata kota Garut menjadi rusak,” kata Prof. Kunto dikutip dari laman resmi unpad.ac.id, Senin (4/4/2022).



Pernyataan tersebut disampaikan Prof. Kunto ketika membacakan orasi ilmiah berjudul "Preservasi dan Konservasi Simbol Kota Garut" dalam upacara pengukuhan Jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah Pada Fakultas Ilmu Budaya Unpad, Selasa (29/3/2022).

Menurutnya, dari sisi bangunan, Garut mempunyai sejumlah bangunan sejarah yang berdiri sejak periode awal hingga 1942. Bangunan tersebut menjadi ikon khas yang dimiliki Garut saat itu, di antaranya alun-alun, pendopo, rumah bupati, masjid agung, gedung Asisten Residen, stasiun, hingga gereja.

Namun setelah kemerdekaan, kata prof. Kunto, banyak gedung-gedung bersejarah yang telantar begitu saja. Bahkan beberapa di antaranya rusak, diubah, atau sengaja dirusak oknum tertentu demi meraup keuntungan.

Menurut Prof. Kunto, Pemkab harus mengikutsertakan peran aktif warganya, terutama generasi muda dalam upaya melestarikan warisan budaya Garut.

“Hemat saya, setelah gedung heritage yang  dihancurkan dan dijadikan ‘baru’,  maka kejadian itu akan berulang kembali, yakni bangunan ‘baru' itu di masa  mendatang akan dihancurkan pula untuk diganti dengan yang ‘baru’ lagi,” ucapnya.

Kemudian dari sisi ruang, Prof. Kunto menilai aktivitas masyarakat Garut saat ini masih terpusat di kota, atau Kecamatan Garut Kota. Sebaiknya aktivitas ruang dapat seimbang antara wilayah utara, selatan, dan barat, supaya perkembangan Garut dapat tumbuh secara seimbang.

Selain itu, lanjut Prof. Kunto, aktivitas kota semestinya tidak tumpang tindih dengan ruang atau bangunan peninggalan sejarah yang menjadi ikon Garut. 

Maka dari itu, Prof. Kunto menyarankan agar Pemkab membentuk perencanaan kota yang partisipatif, dengan mengikut sertakan warga Garut supaya keberadaan ruang bersejarah dapat tetap terjaga.

“Demikian juga kebutuhan ruang untuk masa sekarang dan yang akan datang dapat ditata sedemikian rupa sehingga tercipta pola pengembangan kota yang seimbang antara perspektif peninggalan sejarah dan perspektif masa depan,” terangnya.

Adapun dari sisi rasa memiliki, umumnya masyarakat asli Garut memiliki perasaan untuk berpartisipasi melestarikan warisan budaya dan sejarah Garut. 

Namun, kata Prof. Kunto, kekuatan dalam menyuarakan sikap tersebut belum kuat yang akhirnya masyarakat timbul sikap apatis dan tidak lagi memiliki kebanggaan terhadap kotanya.

Guna meningkatkan rasa memiliki itu, Prof. Kunto menyarankan seluruh aparatur Pemkab perlu menguatkan semangat memiliki Garut.

“Siapapun yang duduk sebagai eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif, yang penting adalah mereka concern dan memiliki kecerdasan spiritual dalam memelihara warisan budaya  yang menjadi identitas dan simbol Kota Garut,” pungkasnya.

Sumber: unpad.ac.id

Baca lainnya

0 Komentar :

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.