3 Tokoh yang Menyebarkan Agama Islam di Garut


Kota Garut memang penuh dengan sejarah dan perjuangan. Jejak-jejak peninggalannya pun bisa ditemukan di kawasan wisata edukasi di Garut. Namun, tahukah warganet bahwa beberapa tokoh ini berasal dari Garut dan menyebarkan agama Islam di Garut? Siapa saja tokohnya, langsung saja cek di bawah!

 

1. Eyang Embah Dalem Arief Muhammad 

Arief Muhammad diyakini berasal dari abad ke-17. Beliau merupakan utusan Kerajaan Mataram untuk menyerang VOC di Batavia. Namun, pasukannya kalah dan ia takut mendapatkan sanksi, sehingga memilih melarikan diri ke daerah Garut. 

Ketika menetap di sana, Eyang Embah Dalem Arief Muhammad akhirnya mengajarkan agama Islam kepada masyrakat yang masih menganut agama Hindu, animisme, dan dinamisme kepada masyarakat di Kampung Polo. Warga adat yang mendiami Kampung Pulo berjumlah 23 orang, terdiri atas 10 perempuan dan 13 laki-laki. Mereka merupakan generasi ke-8,9, dan 10 dari Embah Dalem Arief Muhammad. 

Sejak abad ke-17, Kampung Pulo hanya memiliki 6 rumah dan satu musala. Rumah-rumah diperuntukan bagi anak perempuan dan musala untuk satu-satunya anak laki-laki. Sampai sekarang, masyarakat Kampung Pulo menjaga bangunannya yang harus berjumlah 7, tidak boleh bertambah atau berkurang. Itu menjadi simbol putra-putri Embah yang memiliki 7 anak. 

Bukti penyebaran dan pengajaran agama Islam oleh Embah Dalem Arief Muhammad dipamerkan di museum kecil yang ada di dekat makam keramat. Di museum tersebut terdapat naskah Alquran dari abad XVII dari daluang atau kertas tradisional daro batang pohon saeh.

 

2. Prabu Kiansantang 

Syekh Sunan Rohmat Suci atau yang dikenal dengan Prabu Kian Santang merupakan tokoh yang menyebarkan agama Islam di Limbangan, kemudian sampai ke Garut dan pesisir utara Pantai Jawa. Prabu Kiansantang pergi ke Tanah Mekkah dan bertemu dengan Ali bin Abi Thalib. Prabu Kiansantang belajar agama Islam langsung dari Ali. Setelah dirasa cukup, Kiansantang pulang ke Pajajararn untuk menyebarkan agama Islam. 

Limbangan menjadi tempat pertama penyebaran agama Islam di Garut. Prabu Kiansantang berganti nama menjadi Syekh Sunan Rochmat Suci. Prabu Kiansantang mengislamkan raja lokal seperti Raja Galuh Pakuwon di Limbangan yang kemudian diikuti oleh rakyatnya. Berkat Sunan Pancer, agama Islam tersebar luas dan berkembang di daerah Galuh Pakuwon. Selain itu juga raja lain seperti Santowan Suci Mareja, Sunan Sirapuji, Sunan Batuwangi juga berhasil masuk Islam berkat Kiansantang. 

Setelah berhasil mengislamkan hampiru seluruh Priangan, Raden Kiansantang memilih menetap di garut dan menjadi guru syariat hingga akhir hayatnya. Tidak diketahui secara jelas kapan Raden Kiansantang meninggal tetapi masyarakat meyakini makamnya terletak di lereng Gunung Karacak, Karangpawitan, Garut.

 

3. KH Mustofa Kamil

Ulama yang dilahirkan pada 5 Agustus 1884 di kampung Bojong, Kecematan Pasirwangi, Garut. KH Mustofa Kamil merupakan keturunan Syekh Syarif Hidayatulloh. KH Mustofa Kamil belajar agama hingga ke Masjidil Haram di Mekkah. Setelah merasa cukup, beliau pulang ke Tanah Air saat penjajahan Belanda berkecamuk. Mula-mula sang Kiai mengajar pengajian dan kegiatan agama lainnya di Masjid Agung Garut yang berada di alun-alun. Namun, isi dakwahnya dianggap bersebrangan sehingga Bupati Garut saat itu marah. 

Kiai dilarang menerjemahkan Alquran ke bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Semua materi yang berbau kemerdekaan dilarang dan harus siap dipenjara. KH Mustofa Kamil marah dan mendirikan masjid baru hasil patungan warga dan diberi nama Masjid Perjuangan Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia Al Musthafa. 

KH Mustafa Kamil berdakwah dengan pola menerjemahkan langsung Alquran dan kitab kuning ke dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Banyak warga yang tetrarik dengan dakwahnya dan memenuhi ruangan. Hal tersebut dianggap sebagai ancaman bagi Belanda, sehingga Belanda memasukan KH Mustofa Kamil ke penjara berkali-kali. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangat juang beliau untuk menyebarkan islam. 

Ketika Belanda menyerahkan kekuasannya ke Jepang, Jepang sempat menawari Kiai untuk bekerja sama, tetapi ajakan tersebut ditolak dengan tegas. KH Mustofa menghuni penjara untuk kesekian kalinya. Setelah bebas, beliau aktif dalam majelis dan terus menanamkan ajaran Islam dan membangkitkan semangat juang melawan penjajah. 

KH Mustafa Kamil gugur sebagai syuhada pada 10 November 1945 ketika sedang berjuang bersama Bung Tomo di Jawa Timur.

 

Sumber foto : Kontrastime


0 Komentar :

    Belum ada komentar.