Mitos atau Fakta, Orang Sunda Tidak Boleh Menikah dengan Orang Jawa?
Larangan orang Sunda menikah dengan orang Jawa masih banyak dipertanyakan, apakah hal itu fakta ataukah hanya anggapan mitos semata?
Di tengah keberagaman budaya Indonesia, pernikahan antar suku menjadi salah satu bentuk penyatuan yang memperkaya nilai kebangsaan. Namun, hubungan antara orang Sunda dan orang Jawa kerap kali ditakuti oleh mitos lama yang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat, bahwa kedua suku itu tidak bisa bersatu.
Keyakinan ini tidak hanya beredar secara lisan, tetapi juga terkadang menjadi faktor pertimbangan serius dalam hubungan asmara lintas budaya, bahkan sampai menggagalkan pernikahan yang sudah direncanakan.
Mitos ini dipercaya berasal dari peristiwa sejarah yang dikenal sebagai Perang Bubat, yang melibatkan Kerajaan Sunda dan Majapahit di abad ke-14. Sejak saat itu, berkembanglah anggapan bahwa pernikahan antara kedua suku ini membawa kesialan, ketidakcocokan, hingga nasib buruk dalam rumah tangga.
Melalui artikel ini, infogarut akan menelusuri akar sejarah munculnya mitos tersebut dan mengetahui relevansinya dengan realita saat ini. Sebab, di tengah kehidupan yang makin terbuka dan toleran, penting bagi kita untuk membedakan antara tradisi yang perlu dihormati dan mitos yang perlu diluruskan.
Baca Juga: 17 Tradisi Pernikahan Adat Sunda yang Penuh Nilai dan Makna
Bermula Pada Tragedi Perang Bubat (1357)
Mitos larangan pernikahan antara orang Sunda dan orang Jawa diduga berakar dari peristiwa Perang Bubat pada abad ke-14, tepatnya sekitar tahun 1357 Masehi, ketika Hayam Wuruk, Raja Majapahit, hendak menikahi Dyah Pitaloka dari Kerajaan Sunda. Namun, Gajah Mada berusaha mengubah maksud tersebut menjadi penyerahan upeti, bukan pernikahan, yang akhirnya memicu pertempuran tragis dan berujung pada kematian keluarga kerajaan Sunda, termasuk sang putri.
Pangeran Niskala Wastu Kencana, yang kemudian menjadi pemimpin Sunda, bahkan mengeluarkan larangan berupa estri ti luaran, yang artinya menikah dari luar kepada rakyatnya untuk menikahi orang luar, termasuk orang Jawa.
Di kalangan masyarakat, terutama generasi yang lebih tua atau yang menjaga adat leluhur (adat buhun), mitos ini masih dipercaya. Banyak yang yakin bahwa pernikahan Sunda-Jawa akan membawa ketidakbahagiaan, kesialan, bahkan perceraian.
Narasi-narasi seperti “laki-laki Jawa akan dikendalikan istri Sunda” atau “perempuan Jawa akan tunduk kepada suami Sunda”, serta isu-isu seperti rezeki seret dan komunikasi buruk, turut memperkuat pandangan ini dalam masyarakat ﹙meski tidak memiliki bukti ilmiah﹚.
Baca Juga: Tahapan Tradisi Pernikahan Adat Sunda Sebelum Hari H yang Sarat Makna
Realita dan Fakta Masa Kini
Saat ini, pernikahan antar-suku, termasuk antara Sunda dan Jawa, sangat umum dan banyak yang hidup harmonis. Contohnya, di daerah-daerah perbatasan seperti Cilacap, Banjar, Ciamis, Pangandaran, bahkan muncul istilah Jasun (Jawa-Sunda) untuk komunitas yang terakulturasi dan rukun.
Beberapa sejarawan, termasuk peneliti dari National Geographic, menyebut bahwa kisah Perang Bubat lebih banyak muncul melalui karya sastra seperti Pararaton, Kidung Sunda, dan Kidung Sundayana yang merupakan karya-karya yang muncul atau disebarkan pascakolonial dan bisa jadi diperkuat sebagai alat politik adu domba oleh Belanda.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa hubungan antara Sunda dan Jawa sebenarnya jauh lebih damai sebelum abad ke-16, tercermin dari catatan perjalanan seperti Tome Pires dan Bhujangga Manik, yang tidak mencatat adanya konflik besar antara keduanya.
Para pakar ilmu sosial, baik sosiolog, antropolog, maupun psikolog, sepakat bahwa tak ada landasan ilmiah, aturan adat, atau ajaran agama yang menghalangi perkawinan antara orang Sunda dan Jawa. Yang menjadi penentu utama keberhasilan pernikahan adalah kedewasaan emosi, kemampuan berkomunikasi, kesetiaan, serta keselarasan kepribadian, bukan dari mana suku seseorang berasal.
Secara hukum, Undang‑Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mencantumkan larangan antar‑suku, demikian juga agama Islam yang banyak dianut oleh kedua kelompok ini tidak mempermasalahkan pernikahan beda suku selama seiman.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.