Pentingnya Bahasa dan Sastra dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Sunda


Pada era antara tahun 1500 hingga 1800, bahasa dan sastra memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Tatar Sunda. Fungsi bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana untuk menyampaikan ide-ide, pemikiran, dan pesan kepada setiap anggota masyarakat.

 

Bahasa Sunda, khususnya, menjadi bahasa mayoritas yang dipakai oleh masyarakat Tatar Sunda. Namun, ada perbedaan dalam penggunaan bahasa di wilayah pesisir utara, di mana masyarakat Sunda yang tinggal di sana cenderung menggunakan bahasa Jawa yang telah beradaptasi dengan lingkungan alam dan budayanya.

 

Pada abad ke-16, bahasa Sunda dikenal sebagai salah satu lingua franca di wilayah tersebut. Masyarakat Sunda telah memiliki kesadaran yang tinggi terhadap bahasa, terlihat dari ketentuan yang diberlakukan oleh elite politik dan pemerintahan. Misalnya, dalam naskah-naskah seperti Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Carita Parahyangan, diberlakukan aturan penggunaan bahasa dalam administrasi pemerintahan dengan memperhatikan tingkatan sosial yang dikenal sebagai undak-usuk basa. Sistem ini membedakan bahasa halus, sedang, dan kasar berdasarkan status sosial, umur, dan hubungan kekerabatan.

 

Penguasaan bahasa dengan tingkatan yang tepat menjadi salah satu ukuran kemampuan seseorang dalam menulis surat pribadi, karya sastra, atau dokumen sejarah seperti babad, wawacan, dan sajarah. Undak-usuk basa ini juga diterapkan dalam interaksi sosial sehari-hari, terutama di kalangan ménak (bangsawan) dan pejabat, di mana penggunaan bahasa halus menjadi norma dalam pergaulan dan komunikasi resmi.

 

Meskipun masyarakat Sunda sebagian besar adalah masyarakat agraris atau petani ladang, bukan berarti mereka tidak memiliki kesadaran akan pentingnya kesusasteraan. Sejak abad ke-16, masyarakat Sunda telah mengenal berbagai bentuk sastra lisan. Beberapa cerita yang disampaikan secara turun-temurun mencakup kisah-kisah seperti Bria, Damariati, Sanghyang Hamu, Logasena, Sedamama Priayakama, Ramayana, Adiparua, Konavasarma, Bimasorga, Ranggalave, Tantri, Sumana, Kalapurbaka, dan Jarini.

 

Selain cerita lisan, masyarakat Tatar Sunda juga telah mengenal pantun sebagai jenis kesusasteraan lisan. Orang yang ahli dalam berpantun disebut prepantun. Ada empat jenis pantun yang dianggap sebagai karya sastra asli masyarakat Sunda, yaitu Langsalarang, Banyakcarra, Hater Wangi, dan Siliwangi. Selain itu, masyarakat Sunda juga mengenal lagu-lagu tradisional yang disebut kawih. Orang yang ahli dalam melantunkan kawih disebut paraguna. Kawih tidak hanya dinyanyikan sebagai hiburan, tetapi juga memiliki fungsi ritual dan kultural dalam kehidupan masyarakat Sunda.

 

Sumber: 'Sejarah Tatar Sunda Jilid I' (Nina H. Lubis, dkk.)


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka

  • Oleh zahra nisrina shaumi
  • 09, Sep 2024
Gembyung Tradisi Musik Perkusi Sunda yang Menggema