ADVERTISEMENT
Beranda 16 Mei 1945: Tentara PETA Dihukum Mati

16 Mei 1945: Tentara PETA Dihukum Mati

7 jam yang lalu - waktu baca 2 menit
Sumber: Istimewa

Tanggal 16 Mei 1945 menjadi salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada hari itu, enam orang prajurit Pembela Tanah Air (PETA) dieksekusi oleh tentara Jepang sebagai buntut dari pemberontakan di Blitar yang pecah dua bulan sebelumnya, tepatnya pada 14 Februari 1945. Aksi heroik tersebut dipimpin oleh seorang pemuda pemberani, Supriyadi.

Rencana Rahasia Sejak 1944

Pemberontakan ini bukan tindakan spontan, melainkan hasil dari persiapan panjang. Sejak September 1944, Supriyadi dan beberapa tokoh muda PETA mengadakan pertemuan rahasia guna merencanakan gerakan perlawanan terhadap Jepang. Mereka tidak hanya berniat melawan, tetapi juga ingin memulai revolusi untuk membebaskan rakyat dari penderitaan di bawah pendudukan militer Jepang.

Tepat pukul 03.00 WIB pada 14 Februari 1945, perlawanan meletus dengan serangan mortir ke Hotel Sakura—tempat para perwira Jepang bermukim. Namun, rencana pemberontakan tidak sepenuhnya berjalan mulus. Satuan-satuan PETA lain yang diharapkan ikut serta ternyata gagal digerakkan. Jepang yang telah lebih dulu mencium gerakan ini segera melakukan penindakan keras.

Asal-Usul PETA dan Tujuannya

PETA (Pembela Tanah Air) merupakan organisasi militer yang dibentuk oleh pemerintahan militer Jepang di Indonesia pada 3 Oktober 1943 melalui Osamu Seirei No. 44. Tujuannya adalah untuk membentuk pasukan lokal yang dapat memperkuat pertahanan Jepang dari kemungkinan serangan Sekutu di kawasan Asia Tenggara.

Berbeda dengan penjajah Belanda yang enggan memberikan pelatihan militer kepada rakyat Indonesia, Jepang justru memanfaatkannya sebagai strategi militer. Para pemuda Indonesia dilatih secara modern, dan dari sinilah banyak calon pemimpin militer Indonesia masa depan muncul.

Namun, kenyataan di lapangan sangat memprihatinkan. Banyak anggota PETA yang mulai sadar akan kekejaman Jepang terhadap rakyat Indonesia, terutama penderitaan kaum romusha dan eksploitasi terhadap perempuan yang dijanjikan pendidikan, tetapi justru dijadikan budak seks tentara Jepang.

Kegagalan Pemberontakan dan Nasib Tragis Para Pejuang

Setelah upaya pemberontakan dilancarkan, Jepang dengan cepat mengerahkan pasukannya untuk menumpas gerakan tersebut. Salah satu upaya negosiasi dilakukan oleh Kolonel Katagiri dari dinas propaganda Jepang yang bertemu Shodancho Muradi, salah satu pimpinan pemberontak, untuk meminta pasukan kembali ke markas.

Namun semuanya sudah terlambat. Akibat pemberontakan tersebut, sekitar 78 prajurit dan perwira PETA ditangkap. Dari jumlah tersebut, enam orang dijatuhi hukuman mati yang dilaksanakan di Ancol pada 16 Mei 1945, sementara enam lainnya dipenjara seumur hidup, dan sisanya menerima berbagai hukuman sesuai tingkat keterlibatan.

Yang menjadi misteri hingga kini adalah nasib Supriyadi. Setelah aksi pemberontakan gagal, ia menghilang tanpa jejak. Beberapa orang percaya bahwa ia telah dieksekusi secara diam-diam oleh Jepang, namun ada pula yang menyebutkan ia berhasil melarikan diri. Identitas dan keberadaannya tetap menjadi teka-teki dalam sejarah perjuangan Indonesia.

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.