28 April: Merayakan Hari Puisi Nasional
Setiap tanggal 28 April, dunia sastra Indonesia berdenyut lebih kencang. Ini bukan sekadar momen nostalgia, tetapi juga perayaan akan kekuatan puisi dalam mengungkapkan perasaan, merangkai cerita, dan merekam perjalanan bangsa.
Hari Puisi Nasional menjadi panggilan bagi para pecinta kata untuk kembali membangkitkan kreativitas, sembari memberi penghormatan kepada sosok besar yang telah menorehkan jejak tak terlupakan di dunia puisi Indonesia.
Di balik untaian kata-kata indah, ada perjalanan panjang, makna mendalam, dan warisan budaya yang terus mengalir dari generasi ke generasi.
Tentang Asal Usul Hari Puisi Nasional
Mengapa 28 April? Tanggal ini dipilih untuk memperingati hari wafat Chairil Anwar, seorang tokoh yang mengubah wajah puisi Indonesia selamanya.
Melansir Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dikdasmen), penetapan ini bukan tanpa makna.
Tidak seperti peringatan yang biasanya didasarkan pada hari kelahiran, Hari Puisi Nasional justru menandai perpisahan Chairil Anwar dari dunia, sebagai bentuk penghormatan atas warisan abadi yang ia tinggalkan.
Dengan memilih tanggal kepergiannya, Hari Puisi Nasional seolah mengajarkan bahwa kata-kata tak pernah benar-benar mati. Puisi, seperti Chairil, hidup di antara kita: Menginspirasi, membangkitkan, dan menggerakkan hati.
Artikel Pilihan: 26 April 1966: Ketika Gunung Kelud Meletus, Soekarno Tergerus
Chairil Anwar dan Jejak Abadinya
Chairil Anwar bukan hanya sekadar penyair; ia adalah simbol perubahan. Melalui keberaniannya mematahkan pakem-pakem lama, ia memperkenalkan gaya baru: lugas, emosional, dan menyentuh.
Dikenal sebagai sosok yang tak pernah puas belajar, Chairil banyak menyerap karya sastra dunia untuk memperkaya puisinya. Semangatnya mencipta membuahkan karya-karya yang tak hanya relevan di zamannya, tapi tetap hidup hingga kini.
Meski dalam perjalanannya ia sempat menuai kontroversi, kejujuran emosional dan keberanian dalam setiap bait membuat karya-karyanya tetap bercahaya. Puisinya telah melintasi batas bahasa dan budaya, diterjemahkan ke berbagai belahan dunia, membuktikan bahwa kekuatan sebuah puisi bisa melampaui waktu dan tempat.
Kini, setiap 28 April, kita diajak bukan hanya untuk mengenang Chairil Anwar, tetapi untuk menyalakan kembali api kreativitas dalam diri kita, menyuarakan kata-kata dengan jujur, dan merayakan keabadian puisi.
Salah Satu Puisi Chairil Anwar
Merdeka (Juli 1943)
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang
Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang
Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.