5 Fakta Keunikan Kampung Adat Pulo di Garut


Kabupaten Garut terkenal dengan keberagaman adat dan budaya yang berwarna. Keberagaman ini sudah seharusnya dilestarikan secara turun temurun. Keberagaman adat dan budaya di Garut dapat kita temui d berbagai desa yang berkembang di masyarakat. Salah satunya adalah Kampung Adat Pulo di Garut. 

Kampung adat ini terletak di Pulau Panjang, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Kampung Pulo berada di sebrang Situ Cangkuang dan memisahkan antara Kampung Pulo dan Desa Cangkuang. Selain melestarikan adat, kampung ini juga memiliki keunikan loh. Apa saja keunikannya? Yuk, langsung simak!

 

1. Simbol 7 Bangunan Pokok

Kampung Adat Pulo....jpg

Kampung adat ini memiliki 7 bangunan pokok yang terdiri dari 6 bangunan rumah dan 1 bangunan musala. Bangunan yang berjumlah 6 berjejer saling berhadapan. Masing-masing 3 buah rumah di kiri dan kanan dan bangunan musala berada di pintu depan. 7 bangunan ini menjadi simbol ketujuh anak Eyang Embah Dalem Arief Muhammad. 6 rumah menyimbolkan 6 anak perempuannya dan satu musala menjadi simbol dari anak laki-laki satu-satunya. 

Eyang Embah Dalem Arief Muhammad merupakan tokoh penting penyebaran agama Islam di Desa Cangkuang yang sebelumnya penduduknya menganut agama Hindu.

 

2. Menggunakan Rakit sebagai Alat Transportasi

Situ Cangkuang.jpg

Untuk mencapai kampung ini, para pengunjung harus menggunakan rakit sebagai alat transportasti. Rakit tersebut terbuat dari bambu yang dikayuh oleh satu orang menggunakan bambu panjang. Rakit ini digunakan untuk menyebrangi Danau Situ Cangkuang yang kedalamannya mencapain 1,5 meter. 

 

3. Bukti Penyebaran Agama Islam di Garut

candi-cangkuang-1.jpg

Dalam kompleks Candi Cangkuang, terdapat bangunan yang di dalamnya berisi koleksi berupa bukti penyebaran agama Islam yang masih tersimpan rapi. Bangunan ini mejadi tanda adanya penyebaran agama Islam di daerah Sunda. Bangunan tersebut berupa bukti-bukti sejarah seperti kitab kuno, Alquran, hingga naskah kotbah. Naskah tersebut ditulis dalam kertas yang terbuat dari kulit kayu saeh dan tinta dari arang yang ditulis oleh Eyang Embah Dalem Arif Muhammad ketika menyebarkan agama Islam.

 

4. Larangan Menabuh Gong Besar

gong.jpg

Dari kisah anak laki-laki satu-satunya, diterapkan sebuah tradisi tidak boleh menabuh gong besar. Pada saat anak laki-laki itu disunat, diadakan pesta besar-besaran yang dimeriahkan dnegan arak-arak sisingaan, musik gamelan menggunakan gong besar yang mengirinya. Namun, saat arak-arakan terjadi angin badai yang kuat hingga mendorong anak tersebut. Hal tersebut menyebabkan ia terjatuh dari tandu dan meninggal dunia. Untuk menghindari hal tersebut, larangan menabuh gong besar diterapkan di kampung adat Pulo.

 

5. Akulturasi Budaya

Kampung Adat Pulo..jpg

Sebelum Eyang Embah Dalem Arief Muhammad datang ke Desa Cangkuang, para penduduk memeluk kepercayaan animisme, dinamisme, dan HIndu. Eyang Embah memilih tidak pulang ke Mataram dan menyebarkan agama Islam ke penduduk desa. Akulturasi budaya pun terjadi. Hal tersebut bisa terlaksana karena penduduk sekitar telah memegang agama Islam tetapi tetap menjalankan tradisi-tradisi Hindu yang diwariskan secara turun temurun, seperti upacara adat, memandikan benda pusaka, syukuran, dan ritual lainnya. Masyarakat kampung Pulo masih memegang teguh tradisi dan nilai-nilai budaya sebagai pedoman hidup mereka.

 

Sumber materi : genpi.id

Sumber foto : visitgarut.com / twitter riparhand


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka