Biografi Raden Ayu Lasminingrat, Penggagas Sakola Kautamaan Istri di Garut


Raden Ayu Lasminingrat, perempuan asal Garut yang lahir pada 29 Maret 1854. Dia merupakan putri bangsawan dari pasangan Raden Haji Muhammad Musa dan Raden Ayu Ajoe yang merupakan istri ketiga. 

Lasminingrat memiliki tiga adik perempuan, yaitu Raden Ayu Ratnaningrum, Nyi Raden Peorbakoeseomah, dan Raden Ajoe Lenggang Kencana. Raden Haji Muhammad Musa merupakan Kepala Penghulu Kabupaten Garut, pendiri Sekolah Raja, serta penasihat pemerintah zaman Belanda.

Raden Haji Muhammad Musa juga dikenal sebagai pelopor sastra cetak dan cendekiawan Sunda.  Sementara itu ibunya, Ayu Lasmi, tercatat sebagai keturunan Dalem Wiratanoedatar II, Bupati Cianjur. Ayah Raden Ayu Lasminingrat juga dikenal sebagai pelopor sastra cetak dan cendekiawan Sunda. Dia bersahabat dengan orang Belanda bernama Karel Frederick Holle, pemilik perkebunan Teh Waspada di Cikajang, serta pejabat Departemen, van Binnenlandsch Levyssohn Norman. 

Dari relasi persahabatan tersebut, Raden Haji Muhammad Musa memiliki perhatian khusus pada bidang pertanian dan pendidikan di Kabupaten Garut. Ayahnya dan kedua sahabatnya tersebut pun berpengaruh kuat dalam pertumbuhan Raden Ayu Lasminingrat.

Meski berasal dari keluarga bangsawan, Raden Ayu Lasminingrat tidak mengenyam pendidikan bangku sekolah, sebab kala itu di Garut belum ada sekolah khusus wanita. Ayahnya menyerahkan pendidikan Raden Ayu Lasminingrat kepada kawannya yakni Levyssohn Norman.

Lasminingrat dibawa ke Kabupaten Sumedang untuk belajar bersama putri-putri priyayi lainnya. Tinggal bersama Norman, Lasminingrat belajar berbahasa Belanda dan pendidikan ala Barat. Perempuan kelahiran Garut ini nantinya dinikahkan sebagai istri kedua Bupati Garut Raden Djenon (Raden Adipati Aria Wiratanoedatar VII), setelah suami pertamanya, Raden Tamtoe Somadiningrat, meninggal.

Singkatnya, pada tahun 1907 Lasminingrat pun mendirikan sekolah yang sama dengan nama Sakola Kautamaan Istri, hingga Dewi Sartika merubah dengan nama yang sama dari Sakola Gadis menjadi Sakola Kautamaan Istri. Oleh karena itu, terlihat jasa dari Lasminingrat dalam hal penamaan sekolah.

Sakola Kautamaan Istri sempat berganti nama menjadi Sekolah Rakyat yang mulai menerima murid laki-laki. Hingga pada tahun 1950, sekolah tersebut pun dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudaan Kabupaten Garut dan sempat berubah-ubah namanya.

Perempuan pada saat itu, masih terkungkung oleh tradisi tentang perempuan yang “terbelakang dan lemah”. Namun, Lasminingrat telah melangkah jauh dan berusaha menepis budaya setempat yang sangat memarginalkan kaum perempuan. Karena itu, berbagai upaya ia lakukan untuk dapat memberdayakan kaum perempuan meskipun masih dalam skala wilayah.

Lasminingrat memang pantas untuk disebut sebagai pahlawan nasional dari Sunda dan pelopor emansipasi wanita pertama. Sayangnya, data mengenai bukti perjuangannya tidak banyak ditemukan. Lasminingrat meninggal pada tahun 1948 ketika usia 105 tahun dan dimakamkan tepat di belakang Masjid Agung Garut di Komplek Pemakaman Keluarga Raden Haji Moehamad Moesa.***

 

 

 

Diolah dari berbagai sumber


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka