Hardiknas 2 Mei: Selain Ki Hajar Dewantara, Ini Tokoh Besar Pendidikan Indonesia yang Terlupakan
Nama Ki Hajar Dewantara memang telah melekat kuat dalam sejarah pendidikan Indonesia. Ia dikenal luas sebagai pelopor pendidikan nasional dan menjadi Menteri Pendidikan pertama setelah kemerdekaan. Bahkan, hari lahirnya yang jatuh pada 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Sekolah Taman Siswa yang ia dirikan pada tahun 1922 dan semboyannya yang terkenal, “Tut Wuri Handayani”, menjadi simbol semangat pendidikan di tanah air.
Namun, Indonesia juga memiliki dua tokoh penting lainnya dalam dunia pendidikan yang tak kalah berjasa, meski jarang disebut: Willem Iskander dan Mohammad Syafei.
Mohammad Syafei: Pendiri INS Kayutanam
Mohammad Syafei lahir di Ketapang, Kalimantan Barat pada 1893. Seorang guru asal Padang bernama Marah Sutan kemudian menjadi ayah angkatnya dan mengirimnya menempuh pendidikan keguruan di Belanda. Setelah kembali ke tanah air, Syafei mendirikan Indonesische Nederland School (INS) di Kayutanam, Padang Pariaman pada 1926. Sekolah ini bertujuan menciptakan masyarakat yang mandiri dan bebas dari penjajahan—baik secara fisik maupun intelektual.
Willem Iskander: Pelopor Sekolah Guru Rakyat
Lebih awal lagi, pada 1862, Willem Iskander telah mendirikan Kweekschool voor Inlandsch Onderwijzers atau Sekolah Guru Bumiputera di Tanobato, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Sekolah ini menjadi salah satu tonggak penting pendidikan pribumi, terutama karena bersifat terbuka untuk umum dan menggunakan Bahasa Mandailing sebagai bahasa pengantar.
Hal ini membedakannya dari sekolah-sekolah guru sebelumnya seperti Kweekschool Surakarta (1851) dan Fort de Kock di Bukittinggi (1856), yang hanya menerima siswa dari kalangan bangsawan.
Willem Iskander, yang lahir dengan nama Sati Nasution, sempat mengenyam pendidikan di Belanda dan berganti nama saat memeluk agama Kristen. Kepulangannya ke Hindia Belanda menginspirasi pendirian sekolah Tanobato. Ia juga dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan akses pendidikan yang setara bagi laki-laki dan perempuan. Sayangnya, saat kembali ke Belanda pada 1874 untuk melanjutkan studi, sekolah Tanobato ditutup dan baru digantikan oleh Kweekschool Padangsidempuan pada 1879.
Ironisnya, ketika jurnalis Sularso mengunjungi tanah kelahiran Iskander pada 2015, ia menemukan minimnya penghargaan terhadap sang tokoh. Bahkan, nama pada monumen kelahirannya pun salah tulis: “Willem Iskandar”.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.