Krisis Gaza: Mati Kelaparan di Tengah Serangan Militer dan Terbatasnya Bantuan yang Masuk
Wilayah Gaza kini menghadapi situasi paling mematikan, di mana banyak dari masyarakat Palestina yang mengalami kelaparan total.
Dalam himpitan blokade yang tak kunjung usai, serta gempuran militer Israel yang tak berhenti, terhampar ribuan jiwa di Gaza, Palestina, yang sehari-harinya selalu dihantui kekurangan makanan. Bahkan jika memiliki uang, makanan pun tak tersedia untuk dibeli.
Dilansir dari Al Jazeera, kondisi ini semakin memburuk setelah berbulan-bulan lamanya, bantuan kemanusiaan dari luar sangat dibatasi militer Israel untuk masuk ke Gaza, Palestina. Bantuan makanan yang masuk sangat terbatas, dan sistem distribusi di lapangan sangat berbahaya, di mana pengungsi yang sedang mengantre bantuan kerap menjadi sasaran tembak.
“Ini adalah salah satu cara paling brutal untuk membunuh,” ujar Dr. James Smith, seorang dokter darurat yang pernah dua kali menjadi relawan di Gaza, kepada Al Jazeera. “Kelaparan adalah bentuk kekerasan manusia terhadap manusia lainnya. Ini dirancang berlangsung lama dan menyebabkan penderitaan yang lebih maksimal.”
Pada 29 Juli 2025, Integrated Food Security Phase Classification (IPC), merupakanlembaga yang didukung oleh PBB untuk mengeluarkan peringatan paling serius: “Skenario terburuk kelaparan saat ini sedang terjadi di Jalur Gaza.”
Baca Juga: Presiden Macron: Perancis Mengakui Palestina Sebagai Sebuah Negara
Bukti-bukti terus bertambah menunjukkan meningkatnya angka kematian akibat kelaparan. Menurut IPC, ambang batas kelaparan terkait konsumsi makanan telah terlampaui di sebagian besar Gaza, terutama di Kota Gaza yang menunjukkan tingkat malnutrisi akut.
Kementerian Kesehatan Gaza mencatat sedikitnya 180 warga telah meninggal akibat kelaparan, separuhnya adalah anak-anak. Sejak April hingga pertengahan Juli 2025, lebih dari 20.000 anak dirawat karena malnutrisi akut yang lebih dari 3.000 di antaranya dalam kondisi parah.
Ketika tubuh kekurangan makanan dalam waktu lama, ia mulai menghancurkan otot dan jaringan tubuh sendiri untuk bertahan hidup. Fungsi ginjal melemah, sistem imun runtuh, organ vital seperti jantung dan paru menjadi tidak efektif, hingga tubuh mendekati kematian.
Distribusi Bantuan yang Terhambat
Meskipun penderitaan warga Gaza makin parah, pada Sabtu lalu, Israel hanya mengizinkan 36 truk bantuan masuk ke Gaza. Padahal, menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, ada lebih dari 22.000 truk bermuatan bantuan yang menunggu di perbatasan.
Sebelum Oktober 2023, sekitar 500 truk bantuan masuk setiap hari ke Gaza, menjadi angka yang belum pernah dicapai lagi sejak saat itu.
Pada Maret 2025, Israel menutup sepenuhnya akses masuk bantuan. Dalam dua bulan terakhir, hanya sebagian kecil dari kebutuhan yang diperbolehkan masuk. Prosesnya pun rumit: setelah bantuan diturunkan di area penampungan perbatasan, lembaga bantuan harus mengajukan izin konvoi, yang sering kali ditolak atau tertunda.
Bahkan jika izin diberikan, konvoi tersebut bisa menunggu hingga 46 jam untuk izin akhir. Saat akhirnya jalan, pengiriman membutuhkan hingga 12 jam karena harus melewati pos pemeriksaan, ancaman keamanan, dan pengalihan rute.
Setelah bantuan konvoi tersebut berhasil masuk, tidak sedikit warga sipil yang tengah mengantri bantuan, mereka kerap kali harus menghadapi tembakan yang dilakukan oleh sniper Israel, diawasi oleh drone, hingga serangan yang tiba-tiba muncul dari udara. Saat itu, hanya 60 pengemudi yang diizinkan masuk ke Gaza, dengan jumlah yang jauh dari cukup.
Baca Juga: 7 Rekomendasi Film Tentang Palestina, Kenali Lebih Dalam!
GHF Gantikan UNRWA: Bantuan Semakin Sulit Diakses
Sejak 27 Mei 2025, Israel dan AS membentuk Gaza Humanitarian Foundation (GHF) sebagai pengganti seluruh operasi kemanusiaan PBB di Gaza, terutama UNRWA.
Namun saat ini GHF hanya mampu mendirikan 4 “mega-site” di tenah zona militer yang sangat rawan dan ketat serta sangat dekat dengan area konflik. Padahal sebelumnya UNRWA memiliki sekitar 400 titik distribusi yang tersebar di berbagai wilayah.
Kini, warga sipil harus menempuh perjalanan jauh, tidur di ruang terbuka, dan melewati jalur penuh risiko tembakan acak untuk mendapatkan sedikit bantuan. Anak-anak, orang tua, wanita hamil, hingga korban luka pun terpaksa ikut dalam perjalanan berbahaya ini.
Dalam unggahan Al Jazeera, Anthony Aguilar yang merupakan seorang veteran AS, mantan penjadi GHF mengungkapkan bahwa ada seorang anak kecil yang sering dia bantu, tewas tertembak gas air mata, diiringi dengan adanya granat kejut, sehingga menewaskan anak tersebut.
Per 5 Agustus 2025, setidaknya 1.487 orang tewas dan 10.578 terluka saat mencoba mengambil bantuan dari GHF.
Israel mengklaim GHF dibutuhkan untuk mencegah Hamas mencuri bantuan. Namun, ternyata tidak adanya bukti konkret, bahwa Hamas melakukan hal tersebut, sebagaimana analisis internal yang dilakukan oleh USAID dan keterangan pejabat militer Israel kepada New York Times.
Baca Juga: Mengenal Buah dan Sayuran yang Menjadi Simbol Palestina
Airdrop yang Berisiko dan Tidak Efisien
Sejak diumumkannya "tactical pause", beberapa negara seperti Prancis, Yordania, dan Uni Emirat Arab mencoba melakukan airdrops bantuan ke Gaza.
Namun banyak bantuan jatuh ke lokasi berbahaya atau sulit dijangkau, bahkan menyebabkan cedera dan kematian. Beberapa paket jatuh ke laut dan rusak karena air asin, sementara video dari warga menunjukkan banyak bantuan terkontaminasi jamur.
Badan PBB menyatakan bahwa airdrop tidak cukup dan sangat berisiko, serta menekankan bahwa satu-satunya solusi adalah membuka akses darat secara menyeluruh agar bantuan bisa masuk dan disalurkan dengan aman kepada 2,2 juta penduduk Gaza.
660 Hari Diserang, Ratusan Ribu Tewas dan Kelaparan
Sejak 7 Oktober 2023, Israel telah menewaskan hampir 61.000 orang, termasuk 18.430 anak-anak, dalam perang di Gaza.
Bahkan jurnal medis The Lancet mencatat bahwa jumlah kematian hingga Juni 2024 bisa 40 persen lebih tinggi dari data resmi Kementerian Kesehatan Palestina, karena banyak korban meninggal di luar fasilitas medis dan tidak terdata.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.