Makna Filosofis Kesenian Tradisional Sisingaan, Bentuk Perlawanan Subang Pada Penjajah


Seniman sisingaan mulai mengangkat atau menggali nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kesenian sisingaan pada masa orde baru, bersama dengan mengembangkan sumber daya kreatif mereka untuk mendapatkan inspirasi mereka. Dua sisingaan melambangkan dua penjajah dan kebodohan, kekuasaan, dan kekuatan.

 

Pada tahun 1968, saat penyambutan kedatangan Presiden di Balanakan, kesenian sisingaan diperkenalkan ke tingkat nasional. Sisingaan digunakan sebagai seni untuk menyambut tamu terhormat atau tamu kehormatan sejak dimulainya. 

 

Sisingaan biasanya terdiri dari empat orang pengusung, masing-masing sepasang patung sisingaan, penunggang, waditra nayaga, dan sinden atau juru kawih. 

  • 4 orang pengusung sisingaan melambangkan masyarakat pribumi yang tertindas atau terjajah; 

  • Sepasang patung sisingaan melambangkan dua penjajah, Belanda dan Inggris;

  • Penunggang sisingaan melambangkan generasi muda yang akan mampu mengusir penjajah;

  • Nayaga melambangkan masyarakat yang bergembira atau berjuang dan memberi inspirasi kepada generasi muda untuk mengalahkan dan mengusir penjajah dari wilayah mereka.

 

Kaum penjajah, di sisi lain, tidak merasa disindir atau terusik, tetapi malah bangga melihat kesenian sisingaan, karena singa, lambang negara mereka, dianggap sebagai bentuk kesenian rakyat. Penjajah hanya tahu bahwa kesenian sisingaan adalah seni yang dibuat oleh masyarakat secara spontan dan digunakan sebagai hiburan saat khitanan anak.

 

Namun, maksud masyarakat Subang tidaklah demikian; mereka menggunakan lambang kebesaran negara mereka dan kemudian ada seorang anak yang naik di atasnya dengan menjambak rambut sisingaan, menunjukkan kebencian mereka terhadap kaum kolonial.***

 

Sumber: adatnusantara

 

(foto: ilove-subang.blogspot.com)


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka