Rusman, Mantan Tapol Asal Garut yang Menghabiskan Sisa Hidup di Pulau Buru


Buntut dari tragedi 1965, pemerintahan Orde Baru menahan puluhan ribu orang yang dituduh memiliki kaitan dengan organisasi terlarang kala itu yaitu PKI. Para tahanan politik (tapol) kemudian dikirim ke Pulau Buru untuk diasingkan. Salah satu diantaranya adalah Rusman.

Rusman, pria asal Garut kelahiran 15 November 1942. Merantau ke Jakarta untuk bekerja dan bersekolah di Universiats Nasional jurusan biologi, Rusman yang bermaksud mampir ke Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) untuk bertemu teman-temannya, ternyata berakhir buruk. Rombongan demonstran dari Himpunan Mahasiswa Indonesia berteriak provokatif karena CGMI dianggap berafiliasi ke Soekarno.

Para pendemo merusuh hingga melempari batu dan memecahkan barang yang ada di sana. Rusman terjebak, para demonstran menangkapnya. Bersama beberapa kawannya ia dibawa polisi ke Kantor Seksi 7 di Jatinegara. Di kantor ia mendapatkan kekerasan oleh petugas. Berkali-kali ia dipindah dari satu tempat penahana ke tempat penahanan lainnya untuk diinterogasi. Di LP Tangerang, ia bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer. Di sana, Rusman juga mendapat penyiksaan. 

Beberapa bulan di Tangerang, Rusman dipindahkan ke LP Cipinang. Di sana, ia sempat bertemu dengan murid ayahnya. Pak Saliyah, ayah Rusman, adalah seorang guru yang baik dan sayang kepada muridnya, setidaknya begitulah pengakuan salah satu petugas LP Cipinang. Ternyata, Saliyah pun ditahan di LP Sukamiskin karena dianggap pro Soekarno, sedangkan ibunya dituduh anggota Gerwani dan ditahan di LP Garut.

Bagi Pak Saliyah, penahanan itu bukanlah yang pertama. Sebelumnya ia pernah ditahan di masa Belanda karena menentang penjajah, pada masa Jepang juga ia ditahan karena vokal terhadap penjajahan. Pak Saliyah seorang nasionalis sejati, ia tidak bisa melihat ketidakadilan. 

Bertahun-tahun Rusman mendiami LP Cipinang, kemudian bulan Mei ia dipindah lagi ke Rutan Salemba untuk persiapan dipindah ke Pulau Buru. Rusman dan 24 kawan tapolnya menggunakan baju tahanan diangkut menggunakan kapal Tokala yang akan membawa mereka ke Pulau Buru. Ternyata, di kapal tersebut sudah ada 700 tapol lain yang datang dari berbagai lapas. 17 Agustus mereka sampai di Pelabuhan Namlea, ibu kota Pulau Buru. Perjalanan belum selesai, mereka diangkut menggunakan kaoal motor kecil menuju Air Mendidih, tempat pendaratan perahu yang akan ke unit-unit tempat tapol. 

Rusman tidak bisa lupa bagaimana pertama kali ia menginjakan kaki di sana. Para tapol lain menyambut dengan menyediakan ketela rebus yang diletakan di pinggir jalan. Mereka hanya bisa menyambut dari kejauhan. Rusman dan kawan-kawannya mendiami unit 15. Barak yang sederhana dan kotor itu mereka bersihkan bersama menggunakan alat seadanya.  

Menurut Tumiso, rekan sesama tapol, Rusman adalah sosok penting di unit III dulu. Dia adalah orang kepercayaan Pak Oey Hay Djoen, petinggi Lekra dan anggota DPR perwakilan PKI. Tugas penting Rusman adalah mendengarkan radio dalam hutan. Di Buru, akses informasi telah dipotong, media massa seperti koran, radio, dan televisi jadi barang haram. Rusman mengaku tak keberatan mengemban tugas mendengarkan radio itu meski nyawa yang harus dipertaruhkan. 

Di kamp, para tapol diharuskan kerja paksa setiap hari sesuai dengan perintah. Mereka diawasi dengan ketat dan diperbolehkan istirahat ketika waktu sore. Jika para tapol tidak mengikuti perintah, mereka harus siap disiksa. Sekitar tahun 1977, suasana unit mulai lebih baik ketika komandan mako diganti menjadi Letkol Syamsi, ia lebih humanis dan sangat baik. Para tapol lebih leluasa bahkan bisa mengunjungi kawan-kawannya di unit lain asalkan izin. 

Tak melulu kisah sedih, ternyata Rusman menemukan cinta sejatinya di tahanan itu. Ia bertemu dengan Juna, perempuan yang kelak menjadi istrinya. Suatu ketika ia mendapat tugas di kawasan Air Terjun, Juna masuk ke dalam unit untuk belanja. Di sanalah muncul benih-benih cinta kemudian mereka memutuskan menikah pada 9 Mei 1979. Ia dan kawan-kawannya membangun rumah tersendiri dalam unit. Kebahagiaan Rusman semakin lengkap, pada 12 November 1979 ia secara resmi dibebaskan bersama para tapol lain. Rusman mengajak istrinya menegok keluarganya di Garut yang belasan tahun tidak ia jumpai. 

Setelah pembebasan, sebagian tapol memilih untuk kembali ke rumahnya masing-masing, tetapi Rusman memilih menetap di Pulau Buru. Ia tinggal bersama ketiga anak dan cucunya. Meski sudah lama menetap di Pulau Buru, logat Sunda Rusman masih terdengar jelas. Setelah melalui proses perenungan yang panjang, Rusman menyimpulkan bahwa salah dan benar itu tergantung siapa yang menjadi penguasa. Pada kasus 1965, prinsip Soekarno memang benar, tetapi pada masa Soeahrto, prinsip itu salah. 

Rusman menutup hidupnya pada 4 Juni 2021 pada usia 79 tahun. Ia pergi meninggalkan kita semua dengan damai dan tenang.

 

Sumber materi :

Gandhi Wasono. "Di Pulau Buru Kuhabiskan Sisa Hidupku". Intisari. September 2021. 44-52

cnnindonesia.com/Ini Kami Masih di Buru

Sumber foto : tirto.id


0 Komentar :

    Belum ada komentar.