Tradisi Baju Hari Raya di Abad 20


[Illustration : Arsip Nasional Republik Indonesia]

Baju baru Alhamdulillah, di pakai di hari raya……

Pasti para wargi sudah tidak asing lagi dengan penggalan lagu tersebut, lebaran biasanya identik dengan baju baru. Baju baru bukanlah suatu kewajiban tetapi hingga saat ini baju baru sudah menjadi tradisi dan banyak orang yang melakukannya. Di dalam ajaran islam menggunakan baju terbaik di hari raya Idul Fitri merupakan hal yang sunah.

Namun, bagi masyarakat Indonesia hal yang terbaik bisa berarti hal yang baru sehingga masyarakat memutuskan untuk menyediakan baju khusus untuk hari raya idul fitri. Tradisi membeli baju baru untuk lebaran sudah berlangsung sangat lama. Bahkan bukti tertulis yang di tulis oleh Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia sudah melaksanakan tradisi baju lebaran sejak abad 20.

Snouck Hurgronje menuliskan bahwa ketika menyambut hari raya Idul Fitri masyarakat muslim di Hindia Belanda (Indonesia pada saat itu) menuliskan bahwa masyarakat memasak hidangan khusus, saling bertandang dan mengunjungi kerabat, membeli pakaian baru dan rasanya seperti sebuah hiburan yang menyenangkan.

Tradisi baju baru lebaran di Hindia Belanda pada saat itu memiliki kesamaan dengan tradisi membeli baju baru untuk merayakan tahun baru di Eropa. Selain itu, tradisi mengunjungi kerabat dan orang-orang terdekat pada saat lebaran-pun menurut Snouck Hurgronje sama seperti tradisi tahun baru di Eropa.

Berdasarkan catatan Snouck Hurgronje pengeluaran lebaran masyarakat Betawi lebih besar daripada masyarakat lainnya pada saat lebaran karena selain membeli baju lebaran masyarakat betawi membeli petasan untuk memeriahkan suasana lebaran. Namun, pembelian baju baru untuk lebaran yang dilakukan oleh masyarakat Hindia Belanda pada saat itu mengundang kritik pejabat Belanda seperti Residen Semarang yakni Steinmetz mengataka bahwa tradisi membeli baju lebaran merupakan sumber bencana ekonomi bagi pemerintah Hindia Belanda.

Tentu saja kritik yang dilontarkan oleh Residen Semarang ini bukan tanpa alasan karena moment membeli baju lebaran ini dimanfaatkan oleh para bupati bumiputra yang juga berbelanja baju lebaran dan keperluan lebaran lainnya dengan menggunakan dana pemerintah. Para pejabat ini sangat ingin menunjukkan diri di hari raya, mereka membeli pakaian baru bergaya Eropa dan mengenakan perhiasan yang banyak.

Hal tersebutlah yang membedakan tradisi baju baru lebaran diantara pejabat pribumi dengan rakyat pribumi. Para pejabat pribumi mengenakan pakaian dan sepatu baru bergaya Eropa sedangkan para rakyat hanya mengenakan pakaian biasa seperti sarung, jubah dan pakaian sederhana. Sehingga di abad 20 pilihan baju lebaran untuk rakyat biasa tidaklah sebanyak pilihan baju para pejabat pribumi.

 

 

 

 

 

Sumber : Hendaru Tri Hanggoro dalam historia.id


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka