Beberapa Kuliner Nusantara Ini Ternyata Diadopsi dari Eropa
Jejak Eropa dalam kuliner Nusantara tidaklah mengecilkan kekayaan masakan lokal, melainkan menjadi bukti dinamisnya proses adaptasi budaya melalui rasa, bahan, dan cara memasak.
Kuliner Nusantara selama berabad-abad mengalami proses akulturasi yang kaya sebagai hasil interaksi budaya, perdagangan, dan penjajahan. Dalam perjalanan sejarah kuliner Nusantara, banyak masakan yang dianggap asli lokal ternyata memiliki akar atau inspirasi dari resep dan tradisi Eropa, khususnya Belanda. Proses adaptasi ini bukan peniruan, melainkan transformasi kreatif agar sesuai dengan bahan lokal dan selera masyarakat di Nusantara.
Kali ini, Infogarut akan menyusuri jejak beberapa kuliner Nusantara yang ternyata diadopsi dari Eropa, seperti suar suir ayam, sup (soep), semur (smoor), bistik (biefstuk), dan perkedel (frikadel). Melalui kisah tiap masakan itu, kita bisa memahami bagaimana citarasa Eropa menyatu dengan tradisi memasak lokal, menciptakan identitas kuliner yang khas di Indonesia masa kini.
Daftar Makanan Nusantara Adopsi Eropa
1. Suar Suir Ayam
Asal-usul suar suir ayam sering dikaitkan dengan kuliner Belanda bernama zwartzuur atau black vinegar stew. Dalam literatur kuliner kolonial, hidangan ini menggunakan campuran bir, anggur, cuka, bawang, dan gula merah untuk memberi rasa asam–manis pada daging ayam atau itik. Dalam adaptasi Nusantara, bir dan anggur digantikan dengan kecap manis dan cuka, serta bumbu lokal, sehingga terbentuk versi suar suir ayam yang dikenal di masyarakat.
Dalam buku Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870‑1942, Fadly Rahman mencatat bahwa penggantian bahan ini memungkinkan hidangan tersebut diterima oleh lidah kolonial dan pribumi.
2. Sup (Soep)
Kata “sup” dalam bahasa Indonesia berasal langsung dari Belanda soep yang artinya sup. Dalam tradisi Eropa, sup sering menjadi hidangan pembuka, terutama di musim dingin. Ketika orang Belanda tinggal di Hindia Belanda, kebiasaan menyantap sup ikut dibawa dalam menu sehari-hari.
Namun karena iklim tropis Indonesia tidak cocok dengan sup panas, adaptasi terjadi di mana sup lebih sering disajikan dalam suhu hangat atau dingin, dan digunakan sebagai lauk pendamping nasi serta bahan pelengkap sayur. Konsep kuah dan isi menjadi dasar sup Nusantara, meski kemudian rempah lokal, sayuran, dan teknik memasak turut membedakan sup lokal dengan versi Eropa.
3. Semur (Semoor)
Salah satu contoh paling sering dikutip dari pengaruh Eropa dalam kuliner Nusantara adalah semur. Istilah semur diyakini berasal dari bahasa Belanda smoor (atau stomerij/stomerijj) yang berarti masakan direbus perlahan bersama tomat dan bawang.
Ketika Belanda memperkenalkan hidangan bernama hachee atau smoor, penduduk lokal mulai mengadaptasi resepnya dengan menambahkan rempah lokal seperti pala, cengkeh, kayu manis, dan tentu kecap manis, hingga lahirlah versi semur Nusantara yang kaya aroma dan rasa.
Meskipun teknik merebus daging bukan hal baru di Nusantara, melainkan bukti kuliner rebusan daging telah muncul sejak zaman kuno sebagai pengaruh Eropa dalam memperkenalkan teknik slow cooking, penggunaan bawang dan tomat, dan sajian rebusan tertutup (braising) memperkaya cara memasaknya.
Di Indonesia, semur berkembang menjadi banyak versi lokal, seperti semur ayam, semur daging sapi, semur jengkol, semur telur, semur tahu, dan sebagainya.
Baca Juga: "Ewe Deet": Makanan Tradisional Sunda yang Bikin Gen Z Penasaran Sekaligus Kaget!
4. Bistik (Biefstuk)
Kata bistik dalam bahasa Indonesia berasal dari biefstuk dalam bahasa Belanda, yaitu steak atau daging panggang/daging panggang tipis yang disajikan dengan sayuran dan kentang. Dalam kuliner Belanda, biefstuk umumnya disajikan dengan kentang tumbuk atau kentang panggang, kacang polong, wortel, dan saus kental.
Di Indonesia, biefstuk diadaptasi menjadi bistik yang lebih melokal penyajiannya di mana daging sapi iris dimasak dalam saus kecap manis, kadang dicampur dengan tomat, bawang bombay, dan disajikan dengan nasi, kentang goreng atau kentang tumbuk, serta sayuran rebus.
Salah satu variasi lokal terkenal adalah Selat Solo, yang dianggap evolusi dari bistik Belanda: daging iris tipis dengan saus manis ringan yang disajikan bersama sayuran rebus seperti wortel, buncis, kentang, dan terkadang telur rebus.
Bistik dalam versi Nusantara cenderung memiliki karakter rasa yang lebih manis dan ringan dibandingkan steak Eropa, serta sering dijadikan lauk utama pelengkap nasi.
5. Perkedel (Frikadel)
Perkedel adalah salah satu kuliner Nusantara yang sering dianggap sangat lokal, padahal asal usulnya dapat ditelusuri dari Belanda melalui kata frikadel atau fricadeau dalam bahasa Prancis. Dalam tradisi Belanda, frikadel adalah makanan dari daging cincang (biasanya sapi atau babi) yang dibumbui, dibentuk bulat atau lonjong, dan digoreng.
Ketika resep ini dibawa ke Hindia Belanda, masyarakat setempat mulai mengganti bahan daging dengan kentang karena lebih mudah diperoleh dan lebih murah. Dari sana lahirlah perkedel kentang yang kini sangat umum.
Transformasi tersebut menghasilkan warisan kuliner yang kaya dan khas Indonesia. Dengan memahami asal-usulnya, kita pun bisa lebih menghargai betapa dalam lapisan sejarah terasa dalam setiap suapan masakan sehari-hari.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.