Cerita Rakyat Batuwangi dari Singajaya


[Illustration : Pinterest]

Garut memiliki cerita rakyat yang sangat terkenal, bahkan cerita rakyat seperti Cerita Situ Bagendit sudah diangkat ke layar kaca dan cerita rakyat ini sudah dibukukan yang dimana bukunya dapat kita temukan di berbagai toko buku. Namun, terdapat satu cerita rakyat yang tidak se-melegenda cerita Situ Bagendit, namun menarik untuk diketahui yakni cerita rakyat Batuwangi yang merupakan cerita rakyat yang berasal dari Kecamatan Singajaya.

Cerita rakyat Batuwangi ini mungkin sudah tidak terdengar asing lagi bagi masyarakat Singajaya karena penyebaran cerita ini dilakukan secara lisan dan turun-menurun. Cerita rakyat Batuwangi ini bersifat pralogi sehingga cerita ini memiliki logikanya tersendiri. Namun, cerita rakyat seperti cerita Batuwangi ini memiliki petuah kehidupan yang bisa dijadikan pelajaran bagi para pendengarnya.

Cerita Batuwangi ini mengisahkan Mbah Dalem yang merupakan seorang tokoh agama Islam yang tinggal di Singajaya. Mbah Dalem memiliki dua orang anak, anak pertama merupakan laki-laki dan anak kedua merupakan perempuan. Suatu hari anak perempuan Mbah Dalem menikah dengan seorang jajaka yang berasal dari Tasikmalaya sehingga Mbah Dalem menggelar pesta pernikahan yang besar untuk anak perempuannya.

Di dalam pesta pernikahan ini terdiri dari beberapa rangkaian acara seperti huap lingkung dan pabetot-betot bakakak hayam. Ketika pabetot-betot bakakak hayam ini kepala ayam tersebut tertarik hingga pecah dan menumpahkan noda ke baju pengantin wanita. Noda tersebut jatuh tepat di bagian dada pengantin wanita tersebut, pengantin wanita tersebut panik dan meminta bantuan untuk menyelesaikan masalah ini. Kemudian kakak laki-laki dari pengantin wanita tersebut datang menghampiri dan berusaha untuk membantu membersihkan noda dari pakaian penganti wanita tersebut, namun niat baik sang kakak disalahpahami oleh pengantin pria.

Pengantin pria merasa apa yang dilakukan kakak laki-laki terhadap pengantin wanita tersebut tidaklah pantas, penganti pria merasa tidak dihargai dan marah. Kakak laki-laki beserta pengantin wanita berusaha menjelaskan bahwa apa yang dilihat oleh pengantin pria bukanlah hal yang buruk karena sang kakak hanya ingin membantunya dalam membersihkan noda yang ada dipakaiannya, tidak seperti apa yang dipikiran penganti pria tersebut. Namun, sang pengantin pria tetap tidak menerima alasan tersebut dan semakin marah.

Sang kakak berusaha menjelaskan apa yang terjadi berkali-kali dan penganti pria tetap marah, akhirnya sang kakak pun kesal karena sang pengantin pria tidak mendengarkan penjelasannya menjadi emosi dan marah sehingga memicu pertengkaran hebat. Keduanya saling memukul dan sang pengantin wanita berusaha untuk memisahkan mereka. Usaha pengantin wanita tidak berhasil dan pertengkaran diantara para pria ini berlanjut semakin bengis, hingga pada akhirnya mereka saling membunuh satu sama lain.

Pesta pernikahan ini berakhir dengan menyedihkan, sang pengantin kehilangan pasangan dan kakaknya sehingga membuat penganti wanita ini sedih sekali dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Pesta pernikahan yang awalnya digelar sebagai bentuk syukur atas pernikahan anak perempuannya berujung dengan Mbah Dalem kehilangan kedua anaknya dikarenakan kesalahpahaman yang berujung amarah dan kemurkaan. Karena kejadian ini Mbah Dalem bersumpah bahwa ia bersama tujuh keturunanannya tidak akan memakan kepala ayam, jika ada yang melanggar maka akan terjadi sesuatu terhadap pelanggarnya.

HIngga saat ini cerita rakyat Batuwangi ini sangat dihormati oleh keturunan Mbah Dalem, keturunan Mbah Dalem dapat kita temui di Singajaya dan mereka tetap menghargai sumpah buyutnya untuk tidak memakan kepala ayam dan para keturunan Mbah Dalem ini-pun mengikuti sumpah untuk tidak memakan kepala ayam.

Sumber : Iin Indrayani, Riksa Bahasa Volume 1, Nomor 1, Maret 2015


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka