Degung, Kesenian Tradisional Kaum Bangsawan dari Kecamatan Limbangan


Jika Gamelan Jawa terkenal dengan suaranya yang merdu dengan tempo yang lambat, maka lain halnya dengan Gamelan Sunda yang mendayu-dayu. Di Garut, Gamelan Sunda atau Degung tumbuh berkembang di masyarakat Kecamatan Limbangan sebagai warisan budaya yang kental akan nilai sejarah.

Menurut sejarahnya, dulu kesenian ini hanya berupa waditra pukul atau instrumen perkusi yang terdiri dari 6 buah Goong kecil. Karena digemari oleh Ratu Agung (Bupati atau Pengagung), maka kesenian ini sempat dipergunakan oleh kalangan bangsawan saja.

Konon, istilah Degung ini berasal dari kata “Deg ngadeg ka nu Agung” yang mengandung pengertian kita harus senantiasa menghadap (beribadah) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Beberapa sumber juga mengatakan bahwa penamaan Degung berawal dari seorang Ratu Agung yang menggemari kesenian ini. Sehingga istilah Degung dianggap berasal dari kata Ratu Agung atau Tumenggung.

Kemudian dalam Bahasa Sunda, kata-kata yang berakhiran "gung" banyak memiliki arti kedudukan yang tinggi dan terhormat. Misalnya, panggung, agung, tumenggung, dsbnya. Sehingga Gamelan Degung memberikan gambaran kepada orang Sunda sebagai sesuatu yang agung dan terhormat yang digemari oleh Pangagung.

Pada zaman penjajahan Belanda, sekitar tahun dua puluhan, hanya terdapat 5 perangkat Degung yang diantaranya milik R.A.A. Wiranatakusuma, Bupati Bandung. Pada tahun 1958, Degung mulai ditampilkan dalam  pergelarannya berbentuk sekar gending dengan lagu-lagu Ageung yang diberi rumpaka dan melodi.

Kini, perkembangan Seni Degung  di Kecamatan Limbangan sudah mulai terkikis oleh perubahan zaman. Alunan musik tradisional yang biasa ditampilkan di beberapa acara seperti pernikahan, mulai tergeser dengan adanya teknologi modern yang dinilai lebih praktis dan ekonomis.

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka