Eyang Pasir Caladi,Tokoh Penyebar Agama Islam di Garut


Di daerah Garut Selatan, terdapat satu kuburan kuno yang terkenal dengan sebutan “Eyang Pasir Caladi” yang terletak di Kampung Pamalayan, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Berikut kisahnya.

Cerita ini mengisahkan tentang seseorang yang memiliki keturunan dari Sultan Bante yaitu Maulana Hasanudin. Nama sebenarnya adalah Eyang Asdar. Eyang Asdar ini pergi selama beberapa tahun untuk mencari ilmu agama ke pesantren yang ada di Cirebon.  Setelah dewasa, beliau pindah ke Mataram untuk bisa mendalami ilmu agama ke ulama yang lebih tinggi ilmu agamanya.

Beberapa tahun mendalami ilmu agama dan setelah dirasa cukup, Eyang Asdar dipanggil oleh gurunya untuk bermukim di salah satu tempat yang dipercaya oleh gurunya.

“Karena ilmu kamu sudah cukup, sesuai pertimbangan saya, kamu sudah pantas untuk mukim,” ujar gurunya dihadapan Eyang Asdar.

Mendengar hal tersebut, Eyang Asdar kembali bertanya, 

“Harus di mana saya bermukim, ma?” tanya balik Eyang Asdar pada gurunya

“Nanti saya istikhoroh dulu untuk menentukan tempat kamu mukim” jawab mama kepada Eyang Asdar

Eyang Asdar menunggu keputusan dan penempatannya untuk mukim sesuai arahan dari gurunya. Gurunya yang akrab dipanggil mama itu melakukan istikhoroh untuk menentukan tempat yang cocok bagi Eyang Asdar.

Setelah istikhoroh, mama memanggil Eyang Asdar kembali untuk memberitahukan tempat yang tepat untuknya mukim.

“Setelah mama istikhoroh, kamu harus mukim di Tanah Nagara yang ada di Jawa Barat!” Jelas mama pada Eyang Asdar

Eyang Asdar sempat bingung dan kembali bertanya,

“Di daerah mana ma tempat itu?,” tanya Eyang Asdar kebingungan

“Ikuti saja batu yang mama lempar, di mana batu itu mendarat, dan jika kamu menemukan burung caladi (burung pelatuk) yang tidak takut meskipun kamu ganggu, maka disitulah tempat kamu harus bermukim,” jelas mama ke Eyang Asdar.

Setelah diberikan penjelasan oleh mama, Eyang Asdar kembali kebingungan karena bagaimana ia bisa tahu dimana batu itu mendarat.

“Bagaimana saya bisa tahu batu yang dilempar oleh mama mendarat di mana?” tanya Eyang Asdar memastikan.

Mendengar pertanyaan Eyang Asdar, mama kembali menjawab:

“Jika kamu bingung, maka kamu harus istikhoroh. Lakukan istikhoroh untuk minta petunjuk. Nanti akan ada cahaya seperti pelangi, itu bisa kamu gunakan untuk mencari tempat kamu bermukim,” terang mama memberi petunjuk.

Setelah mendengar penjelasan dan petunjuk dari mama, Eyang Asdar pamit pada gurunya untuk mencari tempat yang ditugaskan untuk bermukim.

Membutuhkan waktu berbulan-bulan bagi Eyang Asdar untuk mencari tempat bermukim yang ditunjuk oleh gurunya. Setelah lama mencari, akhirnya Eyang Asdar menemukan tempat yang ada burung caladi, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh gurunya.

Penemuan tempat yang telah ditentukan oleh gurunya, Eyang Asdar mulai menyebarkan agama islam ke masyakat sekitar. Proses penyebaran itu beliau lakukan secara perlahan dan membuat masyarakat sekitar ikut masuk ke ajaran agama islam.

Pada saat itu, pribumi daerah Pamalayan banyak yang menganut agama Budha yang menyembah kepada kayu dan batu. Kesenian yang mereka sering lakukan seperti goong, angklung, tarian badud, saron, dan lain sebagainya yang dibanggakan. Hal lain yang diperdalam adalah ilmu sihir, santet, dan ilmu lainnya.

Di tempat mukim Eyang Asdar, terdapat salah satu batu keramat yang disebut dengan batu “Suraguna”. Batu tersebut digunakan oleh Eyang Asdar untuk berkumpul dan bermusyawarah bersama pengikutnya. Mereka berdiskusi dan mengajak temannya dengan maksud untuk bisa menyebar agama islam ke daerah Pamalayan.

Dalam mewujudkan maksud dan tujuan ke daerah Pamalayan, Eyang Asdar menemui salah satu santri yang dituakan oleh kampung Pamalayan yang sering disebut dengan Ki Kapala Batu.

Dalam salam hormatnya, Eyang Asdar menyapa dengan santun pada Ki Kapala Batu

Sampurasun…” sapa Eyang Asdar pada Ki Kapala Baru

Rampes..” jawab Ki Kapala Baru

“Tidak biasanya kamu datang kesini, ada apa?” tambah Ki Kapala Baru

“Ingin bersilaturahmi saja ki, bertemu dengan saudara.” Jawab Eyang Asdar

Mendengar hal tersebut, Ki Kapala Baru langsung menjawab:

“Jika ingin bersilaturahmi saya terima, tapi jika kamu ingin mengajak saya untuk masuk ke agama kamu, saya tidak mau, sampai mati pun saya tidak akan mau,” jawab Ki Kapala Baru

“Sayangya saya tidak bisa ngajak Ki Kapala buat nyembah pada Allah yang maha kuasa,” jawab Eyang Asdar

“Saya juga punya hal yang harus disembah, jadi kamu tidak usah merubah kepercayaan saya!” tegas Ki Kapala Baru.

Mendengar jawaban dari Ki Kapala Baru, Eyang Asdar kembali ke tempat asalnya. Beliau gagal mengajak Ki Kapala Baru untuk bisa ikut ke agama islam.

Semasa Eyang Asdar masih hidup, ia pernah diserang oleh perampok yang berasal dari Bugis. Eyang Asdar melakukan perlawanan dengan cara melemparkan batu yang cukup besar. Batu yang dilempar oleh Eyang Asdar tersebut masih ada hingga saat ini.

Kuburan Eyang Asdar diteduhi oleh pepohonan besar dengan jenis pohon kiara yang tumbuh dengan besar  lebih dari biasanya. Konon katanya, semasa Bung Karno turun dari jabatannya, pohon kiara itu tumbang, dan digunakan sebagai pertanda oleh masyarakat sekitar. Peninggalan Eyang Asdar berupa jubah, jenggotnya, dan buku kuno yang terbuat dari daun lontar.

 

 

Sumber cerita: Buku Dongeng-dongeng ti Pakidulan Garut, Disparbud Garut

 

 


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka