Keris Pasundan: Warisan Yang Dilupakan Oleh Masyarakat Sunda


Dalam salah satu kepustakaan Sunda tertua yang ditemukan yaitu naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian terlihat bahwa keris merupakan kebudayaan yang ada  dalam kehidupan masyarakat Sunda. Sebuah manuskrip yang ditulis pada tahun 1518 M menyebutkan bahwa keris merupakan salah satu produk daerah tersebut.

Menurut naskah yang beralaskan daun nipah itu, keris merupakan senjata eksklusif karena hanya merupakan ganggaman (pegangan) yang digunakan oleh prabu (raja) selain pedang, abet (cambuk), pamuk, parang, peso teundeut. Sedangkan kelompok lain seperti pendeta (umat beragama) dan petani tentu mempunyai genggaman berbeda dengan raja. 

Eksklusivitas ini menyiratkan bahwa keris adalah senjata yang  memiliki makna simbolis dan karenanya merupakan benda esoteris. Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan Harsrinuksmo dalam Ensiklodeia Keris, “keris bukan sekedar senjata tajam yang dapat digunakan untuk menusuk tetapi juga merupakan suatu benda yang dalam arti spiritual dapat memberikan sifat kandel.”

Meskipun naskah yang  sangat kuno ini tidak menyebutkan nama prabu yang dimaksud, namun jika kita melihat keterangan sementara di dalamnya, kita dapat menyimpulkan bahwa prabu yang dimaksud adalah penguasa Tatar Pasundan dan Geluh ada di dalamnya.

Jika keris ada dalam kehidupan budaya masyarakat Sunda, adakah empunya masyarakat Sunda  yang ahli dalam pembuatannya? Jawaban atas pertanyaan ini adalah “ada”, karena dalam ajaran lisan yang kemudian tercatat dalam beberapa naskah kuno yang berkaitan dengan tosan aji, telah diriwayatkan nama dan perjalanan beberapa guru Pande di Tanah Pajajaran.

Misalnya dalam Serat Paniti Kadga pada bab “Namanipun para Empu ing Pajajaran” dikatakan bahwa Pajajaran mempunyai banyak empu dan eksis secara turun-temurun. Dalam hal ini, teks tersebut setidaknya menyebutkan beberapa nama empu pajajaran yang terkenal dengan keahliannya dalam pembuatan dhuwung.

Beberapa nama empu yang disebutkan adalah Empu Andjani yang disebut-sebut “gentur tapanipun” (khusus Meditasinya) serta menetap di Tanah Jawi Kilen (Pasundan), lalu ada juga Empu Marcukunda, ayah dari seorang empu lain yang juga cukup masyhur yaitu Empu Manca. Dan dari Empu Manca, lahir empat anaknya yang juga berprofesi sebagai ahli teupa yaitu Empu Kuwung, Empu Hangga, Empu Keleng dan Nyi Mbok Sombro.

Banyak empu yang tinggal di Pajajaran yang seharusnya melahirkan banyak keris-keris besar di Tanah Pasundan. Beberapa tempat tersimpannya Keris Pasundan di antaranya disimpan di museum-museum Jawa Barat seperti Museum Kesultanan Cirebon dan Museum Geusan Ulun Sumedang. Dengan latar belakang sejarah yang begitu jelas, penelitian terhadap keris Pasundan masih sedikit, dan masyarakat Sunda lebih menganggap kujang sebagai warisannya dibandingkan keris.***

 


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka