Beranda Luka Lama Korban Orde Baru: Haruskah Soeharto Dianugerahi Mahkota Pahlawan?
ADVERTISEMENT

Luka Lama Korban Orde Baru: Haruskah Soeharto Dianugerahi Mahkota Pahlawan?

7 jam yang lalu - waktu baca 3 menit
Luka Lama Korban Orde Baru: Haruskah Soeharto Dianugerahi Mahkota Pahlawan? (Source: Istimewa)

Wacana untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mendiang Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali mengemuka dan memicu perdebatan sengit di ruang publik.

Bagi sebagian pihak, usulan ini dianggap sebagai bentuk penghargaan yang layak atas jasanya membangun bangsa selama Orde Baru (Orba). Namun, di sisi lain, muncul penolakan keras yang menyuarakan bahwa upaya ini adalah "luka baru" bagi korban-korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di masa kepemimpinannya.

Sebagai warga negara yang menjunjung tinggi semangat reformasi dan keadilan, polemik ini patut dicermati secara arif dan netral.

Baca Juga: Netizen: Anggota DPR Harus Memiliki Gelar S2 dan Skor TOEFL Minimal 500

Dua Sisi Mata Uang Sejarah

Tidak dapat dimungkiri bahwa selama 32 tahun masa Orde Baru, Soeharto meninggalkan warisan yang kompleks dan bersifat dua sisi.

Di satu sisi, pencapaian pembangunan ekonomi di era Orba seringkali menjadi argumen utama. Stabilisasi politik dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan berhasil membawa Indonesia bangkit dari keterpurukan pasca-1965.

Program seperti swasembada pangan, pengembangan infrastruktur, dan stabilisasi mata uang menjadi legasi yang tidak bisa dikesampingkan. Dari kacamata ini, jasa Soeharto telah memenuhi beberapa kriteria yang disyaratkan untuk Pahlawan Nasional, yakni "menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas."

Memperhatikan Suara Korban dan Reformasi

Namun, sisi lain dari kepemimpinan Soeharto adalah catatan gelap mengenai pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum tuntas diusut. Negara, melalui Presiden Joko Widodo pada tahun 2023, secara resmi telah mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu, yang sebagian besar terjadi di era Orba, seperti Peristiwa 1965-1966 dan Penembakan Misterius (Petrus).

Para aktivis dan korban Orba memandang bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto akan menjadi kontradiksi moral yang serius. Bagaimana mungkin seorang tokoh diberikan gelar kehormatan tertinggi sementara negara masih berutang penyelesaian kasus keadilan kepada warganya yang menjadi korban di masa kepemimpinannya?

Syarat Pahlawan Nasional dan Integritas Moral

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, salah satu syarat umum untuk menjadi Pahlawan Nasional adalah memiliki "integritas moral dan keteladanan" serta "tidak pernah dipidana penjara" (berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena tindak pidana tertentu).

Meskipun kasus hukum terkait korupsi Soeharto belum mencapai putusan akhir, adanya catatan pelanggaran HAM berat yang diakui oleh negara menjadi batu sandungan etika dan moral yang tak bisa diabaikan. Para sejarawan dan aktivis berargumen bahwa pelanggaran HAM berat pada dasarnya adalah "kejahatan terhadap kemanusiaan" yang jauh lebih serius daripada masalah hukum biasa.

Baca Juga: Menimbang Kembali, Apakah Mantan Napi Korupsi Layak Mendapatkan Bintang Mahaputera?

Jalan Tengah: Keadilan dan Kebijaksanaan

Wacana ini seyogyanya menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan kembali arti dari kata "Pahlawan" itu sendiri. Apakah seorang Pahlawan harus dilihat sebagai figur yang paripurna tanpa cela, ataukah figur yang jasanya jauh melampaui segala kekurangannya?

Melihat pro dan kontra yang sangat tajam, jalan tengah yang paling bijak adalah mengedepankan prinsip keadilan transisional (transitional justice) terlebih dahulu. Pemerintah perlu mempercepat proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, memberikan keadilan dan pemulihan bagi para korban, sebelum mengambil keputusan besar terkait gelar Pahlawan.

Jika gelar tersebut dipaksakan tanpa penyelesaian isu HAM, yang terjadi bukanlah pengakuan terhadap jasa, melainkan pengkhianatan terhadap semangat Reformasi 1998 dan penghinaan terhadap memori kolektif para korban. Sebaliknya, jika semua pihak hanya terpaku pada kesalahan dan menafikan jasa, kita kehilangan kesempatan untuk mengambil pelajaran dari sejarah secara utuh.

Keputusan akhir ada di tangan negara, namun publik berharap agar proses pengambilan keputusan ini dilakukan dengan transparan, melibatkan akademisi, sejarawan, serta perwakilan korban, demi memastikan bahwa gelar Pahlawan Nasional benar-benar mencerminkan integritas moral tertinggi dan tidak meninggalkan luka sejarah yang baru.

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.