Beranda Menimbang Kembali, Apakah Mantan Napi Korupsi Layak Mendapatkan Bintang Mahaputera?
ADVERTISEMENT

Menimbang Kembali, Apakah Mantan Napi Korupsi Layak Mendapatkan Bintang Mahaputera?

12 jam yang lalu - waktu baca 3 menit
Menimbang Kembali, Apakah Mantan Napi Korupsi Layak Mendapatkan Bintang Mahaputera? (images: freepik/ Youtube Sekretariat Presiden)

Pada tanggal 25 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan Bintang Mahaputera Adipradana kepada mantan Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, yang pernah divonis kasus korupsi senilai Rp100 miliar pada tahun 2008.

Keputusan tersebut tentu menuai pro dan kontra, dan membuka ruang diskusi serius tentang urgensi transparansi, prinsip rehabilitasi, serta nilai-nilai moral dalam penghargaan negara.

Baca Juga: Swedia dan Definisi Sebenarnya dari “Wakil Rakyat Seharusnya Merakyat”

Catatan Ekonomi: Antara Pencapaian dan Kontroversi

Sebagai Gubernur BI (2003–2008), Burhanuddin dikenal sebagai arsitek di balik pelunasan utang Indonesia kepada IMF jauh lebih cepat dari jadwal, mengutip pernyataannya, "hari ini utang kita dilunasi... Minggu depan Indonesia tak punya utang lagi kepada IMF,” sebuah langkah yang dinilai visioner.

Penganugerahan tersebut diberikan atas jasa Burhanuddin dalam menjaga stabilitas moneter, memperkuat sistem perbankan internasional, serta merumuskan kebijakan strategis demi ketahanan ekonomi nasional.

Bayangan Hitam Rekam Jejak Korupsi

Namun, jejak karier Burhanuddin juga tercoreng oleh vonis bersalah atas kasus korupsi dana Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) sebesar Rp100 miliar pada tahun 2008.

Ia divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor, lalu dikurangi menjadi tiga tahun oleh MA pada 2009, dengan denda serta subsider hukuman.

Keputusan ini menuai kritik dari publik, terutama karena penghargaan negara diberikan kepada seorang mantan narapidana korupsi.

Baca Juga: 18 Agustus 1945, Mengapa Soekarno Terpilih sebagai Presiden Pertama Indonesia?

Mengapa Keputusan Ini Dipertanyakan?

  1. Risiko Jadi Contoh Negatif

Memberi penghormatan kepada mantan koruptor bisa melemahkan pesan antikorupsi. Ini menandakan bahwa rekam jejak buruk bisa dilupakan dengan prestasi sesaat.

  1. Ketidakpedulian Terhadap Perasaan Korban

Bagi masyarakat yang merindukan keadilan, penghargaan ini bisa terasa menghina, bahwa kejahatan serius bisa "tengkurap" oleh jasa teknokratis.

  1. Diskursus Publik Terbelah

Banyak yang melihat bahwa langkah ini tidak konsisten, atau menghargai prestasi tetapi mengabaikan sisi moral dan tanggung jawab publik.

Baca Juga: Pemkab Garut Terima Rp12 Miliar dari DBHCHT, Sekda Tegaskan Bantuan Harus Tepat Sasaran

Tetapi… Apakah Ini Bentuk Rehabilitasi?

Sebagian orang mungkin melihat penghargaan ini sebagai tanda bahwa kesalahan masa lalu sudah ditebus, sehingga kini layak diberi apresiasi atas kontribusi positifnya. Pandangan ini juga bisa dianggap sebagai pelajaran bahwa kesalahan tidak selalu menutup jalan untuk kembali mengabdi.

Namun, penting diingat bahwa rehabilitasi tidak serta-merta menghapus dampak simbolis. Keputusan negara memberi penghargaan tetap harus memperhatikan nilai moral dan sensitivitas publik.

Penganugerahan kepada Burhanuddin Abdullah memang menyoroti jasanya di bidang ekonomi, tetapi jangan sampai hal ini mengabaikan prinsip keadilan, transparansi, dan integritas.

Karena itu, negara perlu memperjelas dasar pemberian penghargaan: apakah semata karena kontribusi, atau juga sebagai pengakuan bahwa yang bersangkutan sudah benar-benar melewati proses pemulihan moral di mata publik.

 

Tanpa mekanisme yang jelas, ada risiko muncul budaya yang membenarkan reputasi buruk masa lalu bisa “ditebus” hanya dengan prestasi tertentu. Agar pesan antikorupsi tetap kuat, negara harus memastikan penghargaan diberikan dengan tetap menjunjung nilai keadilan dan integritas.

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.