Perjuangan Raden Ayu Lasminingrat dan Teori Postcolonial Feminism 1


Saat itu bahan bacaan berbahasa sunda sangatlah jarang sehingga Lasminingrat memutuskan untuk menyadur buku-buku berbahasa Belanda ke dalam bahasa Sunda dan menyesuaikan isinya dengan kebudayaan Sunda sehingga dapat mudah dimengerti oleh anak-anak. Selain mengajar, Lasminigrat juga membantu ayah dan saudaranya dalam menulis buku dan menerjemahkan buku-buku bahasa belanda ke bahasa Sunda sehingga mudah dibaca oleh anak-anak.

Selain menerjemahkan buku, Lasminingrat juga menulis buku sebagai bahan ajar yang di dalam bukunya ia menitik beratkan rasionalitas karena pada saat itu masyarakat Limbangan sangat percaya terhadap takhayul. Di dalam buku yang dituliskan Lasminingrat selalu menerapkan nilai-nilai pendidikan dan buah pemikirannya mengenai kesetaran gender tak lupa di dalam setiap bukunya ia selalu menyelipkan pesan agar para pembaca selau bersemangat dalam berpikir , tidak berhenti karena kesulitan, tidak mengerti karena malas dan teruslah belajar.

Lasminingrat menyadur buku dongeng terkenal di Belanda ke dalam bahasa Sunda untuk dibaca oleh murid-muridnya, buku-buku tersebut merupakan buku karangan Hendrick van Eichenfels. dongeng-dongen Grimm dan juga dongeng karangan Christoph von Schmidt. Buku yang disadurnya berjudul Carita Erman, Warnasari 1 dan Warnasari 2. Buku-Buku sadurannya ini dijadikan bahan bacaan wajib di Hollandsch Inlandsche School hingga akhir masa pendudukan Belanda di Indonesia.

Buku-buku karya Lasminingrat ini kemudian dicetakan oleh percetakan Hindia Belanda sebanya 6015 eksemplar yang kemudian diterjemahkan lagi dari bahasa Sunda ke Bahasa Melayu. Raden Ayu Lasminingrat begitu berdedikasi terhadap dunia pendidikan. Namun, cita-cita utamanya adalah mendirikan sekolah khusus untuk perempuan terutama perempuan Sunda. Pada saat itu Raden Ayu Lasminingrat merasa bahwa perempuan seperti perempuan Sunda menanggung begitu banyak beban.

Di masa kolonialism ini perempuan di Hindia Belanda seperti perempuan Sunda jika di dalam sebuah strata kehidupan dapat dikatakan bahwa perempuan berada di tingkatan terbawah. Pada masa kolonialism perempuan ditekan oleh patriaki dan juga kekuatan kolonialisme. Sudah berat dengan tekanan patriaki kemudian ditambah tekanan kolonialisme sudah pasti membuat perempuan semakin menderita. Pada masa itu, perempuan di larang sekolah dan akses pendidikan terhadap perempuan-pun sangat sulit sekali.


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka