Prasasti Peninggalan Sunda Kuno : Prasasti Sanghyang Tapak


Prasasti Sanghyang Tapak merupakan prasasti peninggalan Sunda Kuno yang saat itu dikuasi oleh Raja Sri Jayabhupati. Prasasti Sanghyang Tapak ini berasal dari tahun 952 atau sekitar 1030 Masehi. Prasasti ini merupakan salah satu prasasti yang unik karena di dalam prasasti ini dituliskan kutukan raja. Hal ini menjadi unik karena sebagain besar prasasti yang berasal dari Kerajaan Sunda tidak mengandung sebuah kutukan terutama kutukan raja.

Prasasti Sanghyang Tapak ini ditulis di empat batu alam berpasir. Prasasti ini ditemukan pada abad 19 di Sukabumi, namun batu-batu ini ditemukan dibeberapa tempat. Potongan batu ditemuan di tepi Sungai Cicatih (saat ini dekat dengan Stasiun Kereta Cibadak) dan ditemukan juga di Pangcalikan, Bantarmuncang. Saat ini keempat potongan batu dari Prasasti Sanghyang Tapak ini disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Meskipun merupakan prasasti peninggalan Kerajaan Sunda Kuno prasasti ini ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa dan aksara Jawa Kuno. Prasasti Sanghyang Tapak ini berisikan kutukan-kutukan raja yang sangat mengerikan. Kutukan yang pertama berkaitan dengan adanya daerah larangan. Daerah larangan ini adalah sebuah daerah tertutup. Daerah yang ditutup tersebut adalah sebuah sungai. Sri Jayabhupati menutup sungai tersebut dan melarang masyarakat untuk menangkap ikan di sana.

Jika seseorang melanggar larangan tersebut maka akan dimakan sumpah yang dimana sumpah tersebut merupakan sumpah yang disaksikan oleh para dewa yang agung. JIka seseorang melanggar maka orang tersebut akan terkena kutukan yang sangat mengerikan yakni terbelah kepalanya, terminum darahnya, terbelah badannya hingga terisap otaknya. Di dalam prasasti disebutkan bahwa kutukan dan sumpah ini berlaku sepanjang. Bahkan hingga saat ini masih banyak masyarakat yang mempercayai kutukan tersebut hal ini dibuktikan dengan tidak ada masyarakat yang berani bermain dan berenang di sungai tersebut.

 

 

Sumber : Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. 


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka