Cilauteureun dan Pameungpeuk, Beginilah Asal Usulnya !


Pada zaman dahulu saat Kiansantang pulang berkelana, Ia harus mengislamkan pulau Jawa. Sesudah selesai mengislamkan, akhirnya Ia mendirikan satu negara yang tempatnya di Gunung Nagara.  Karena banyak masyarakatnya, daerah tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu Daerah Pakuan di Gunung Nagara, Daerah Dayeuhandap di Cisompet dan yang ketiga Daerah Bones.

Daerah Bones diwariskan ke putra dari Kiansantang yaitu Geusan Ulun Suryadiningrat. Wilayahnya yaitu meliputi kampung bojong, Jalan Dargama atau Tambak Jaya yang sekarang adalah Pamengpeuk, Walungan Cikarang Kampung Cieurih jalan ke Cikelet. Masyarakat daerah Bones  terbilang aman tentram, gemah ripah, repeh rapih , buncir leuit. Karena daerahnya terbilang subur makmur, sawahnya terlihat nyata hijau subur, airnya pun  mengalir sebagaimana berfungsi untuk mengairi  pertanian milik masyarakat Bones. Sumber air tersebut terdapat di satu sungai  yang bernama Cimandalakasih atau yang sekarang disebut Cipalebuh.

Yang menjadi mantra kemakmuranya itu adalah leuit salawe jajar, karena mantra tersebut merupakan satu  cara suatu daerah agar masyarakatnya tidak kekurangan  makanan saat datangnya musim  yang serba susah. Maka dari itu, sebagian harta dari daerah tersebut  seperti makanan pokok khususnya padi  disimpan di satu bangunan yang disebut leuit dengan  jumlah dua puluh lima jajar.

Prabu Geusan Ulun mempunyai tiga putra dari istrinya Nyi Dewi Lenggang  Kencana yaitu Arbawisena, Sangga Buana dan Bratakusumah.

Pada suatu waktu Prabu Geusan Ulun mengumpulkan anak-anaknya  bersama  para ponggawa. Setelah berkumpul, Ia menasehati sekialigus sebagai wasiat,

“Jika nanti bapak meninggal,  jangan dimakamkan di daerah Bones, tetapi bapak ingin di hanyutkan menggunakan rakit. Jika nanti rakit tersebut sudah berhenti, silahkan boleh untuk dimakamkan. Selain itu, daerah-daerah akan diserahkan ke anak yang paling besar,” ujarnya

Tidak lama dari memberi wasiat ia meninggal dunia, sehingga anak pertamanya yaitu Arbawisera langsung mengumpulkan para ponggawa untuk membuat rakit dan ketika selesai, jasadnya pun langsung dihanyutkan di sungai Cimandalakasih sesuai dengan keinginan Prabu Geusan Ulun.

Sungai Cimandalakasih letaknya membelah daerah Bones,  mulanya air mengalir ke arah barat yang  tibanya di Kampung Nangoh, dari daerah itu lanjut melewati kubang  pabuaran yang nantinya akan tiba bertemu dengan  sungai cilauteureun sekarang bersama bermuara di Santolo.

Setelah  jasad Prabu Geusan Ulun dihanyutkan, rakit tersebut terus diikuti oleh puta-putranya juga para ponggawa. Setelah sampai ke air laut Sayang Heulang, rakit tersebut  berhenti seketika padahal tidak terhalang apapun. Sehingga Arbawisena menyimpulkan bahwa Prabu Geusan Ulun ingin dimakamkan di tempat tersebut.  Dengan cepatnya Abawisena mengumpulkan para ponggawa untuk membuat kuburan diatas  tempat tersebut, tepatnya disamping masjid sela. Setelah selesai membuat, akhirnya jasad Prabu Geusan Ulun dimakamkan.

Menurut  cerita para leluhur, rakit yang digunakan untuk menghanyutkan jasad  tersangkut di satu karang. Sehingga karang-karang yang ada di bagian barat disebut Karangkukus dan sungai yang digunakan untuk menghanyutkan disebut Cilauteureun, karena dahulu rakitnya berhenti tapi tidak bergerak. Sedangkan nama Cilauteureun masih dipakai dari pertama sungai ke muara hingga sampai ke lautnya. Cilauteureun ini merupakan tempat  pengikat kapal dan berlabuhna kapal pamayang.

Dari awal ditinggalkan Prabu Geusan Ulun, daerah Bones dipimpin oleh Arbawisena dengan penuh ketentraman, gemah ripah loh janawi.

Pada satu malam, Arbawisena mimpi bahwa makam ayahnya terendam oleh air  Cimandalakasih, maka dari itu Arbawisena mempunyai keinginan untuk memindahkan Sungai Cimandalakasih dengan cara  mengalihkan aliran sungainya.  Dari saat itupun Arbawisena langsung  beraksi dengan masyarakatnya untuk menyusuri sungai tersebut dari hilir sungai sampai ke pelabuhan jalan Cikoneng saat ini.

            “Disini sepertinya pas untuk mengalihkan aliran sungainya, karena jika ke timur arahnya sudah beda lagi. Sekarang segera ambil batu besar dan peungpeuk sungai ini,” ucap Arbawisena saat itu.

Tanpa berlama-lama, para ponggawa daerah Bones langsung turun ke sungai untuk mencar batu besar yang selanjutnya akan dipakai untuk meungpeuk, sehingga aliran sungai mulai berbelok ke arah  timur.  Ketika sedang menyempurnakan keinginannya, Arbawisena memerintah ke ponggawa untuk mencari batu yang paling besar untuk nantinya disimpan di batu-batu yang sudah di meungpeuk. Batu besar tersebut diberi  jampi sembari di padatkan sehingga batu-batu dibawahnya menjadi sangat kapeungpeuk.

Sesudah itu Arbawisena  menggoreskan tongkat sampai ke Cikaso,  tiba-tiba  sungai Cimandalakasih mengikuti gores tongkatnya, sembari air mengalir seperti  banjir bandang  yang sangat besar. Maka dari itu, sungai baru tersebut diberinama Cipalebuh.

Dari adanya kejadian tersebut, wilayah kaum kaler diberi nama Batu Pamenungpeuk dan daerah Bones berubah nama menjadi Pameungpeuk. Selain itu, air sungai hasil peralihan disebut Cipalebuh dan air sungai yang asalnya bertemu dengan sungai Cimandalakasih disebut Cilauteureun.

 

 

Sumber Informasi : Buku Dongeng-Dongeng Pakidulan Garut, Disparbud Garut.


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka