Beranda Kontes Seni Ketangkasan Domba Garut: Sejarah, Lokasi Kontes, dan Hukumnya dalam Islam
ADVERTISEMENT

Kontes Seni Ketangkasan Domba Garut: Sejarah, Lokasi Kontes, dan Hukumnya dalam Islam

2 hari yang lalu - waktu baca 2 menit
Kontes seni ketangkasan domba Garut | Pemprov Jabar

Tak berhenti di sana, di waktu perayaan pengangkatan Ratu Wihelmina yang juga dilaksanakan di Garut pada 7 September 1898, pertunjukan adu domba pun ditampilkan. Bahkan, saat perayaan tahun baru Jawa dan tahun baru Hijriah pun penampilan adu domba turut dipertontonkan.

Ajang adu domba itu masih terus dilakukan hingga saat ini. Akan tetapi, alih-alih menggunakan nama adu domba, di tahun 1970-an, Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia (HPDKI) mengganti istilah adu domba yang memiliki konotasi negatif menjadi kontes seni ketangkasan domba Garut, dan masih berlanjut sampai sekarang.

Baca juga: Asal Usul Domba Garut

Waktu dan Lokasi Kontes Seni Ketangkasan Domba Garut

Kontes seni ketangkasan domba Garut diadakan sepanjang tahun. Ada banyak agenda dan perlombaan yang dibuat oleh lembaga atau instansi tertentu.

Merangkum dari berbagai sumber, kontes ini dilombakan di Piala Gubernur, Kapolres Garut Cup, Piala Presiden, sampai Piala Padjajaran yang diselenggarakan oleh UNPAD. Selain itu, ada juga kontes terbuka seni ketangkasan domba Garut lainnya.

Menariknya, kontes ini didukung oleh pemerintah daerah setempat. Hadiah yang diberikan pada pemenang kontes pun beraneka ragam. Ada yang memberi motor, kulkas, uang tunai, sapi, sampai trofi.

Lokasi kontesnya berbeda-beda, tergantung penyelenggara. Di Kabupaten Garut sendiri, banyak titik yang sering membuka kontes seni itu, seperti di Kecamatan Leles, Kecamatan Cilawu, dan sebagainya. Perlombaannya dilakukan di lapangan yang cukup luas.

Tak hanya di Garut, kontes seni ketangkasan domba Garut turut dilakukan di berbagai daerah di Jawa Barat, seperti di Karawang dan Kabupaten Bandung.

Hukum Mengadu Domba Garut dalam Islam

Meskipun seni ketangkasan domba Garut sudah menjadi semacam tradisi yang mengakar kuat dan menjelma sebagai kearifan lokal khas daerah, sejatinya mengadu dua ekor kambing untuk “bertarung” dianggap menyakiti hewan tersebut. Banyak muncul pro dan kontra dari penyelenggaraan seni ketangkasan ini.

Tulisan Sasa Sunarsa dan Sopiyanti Nur Azizah dalam jurnal J-HESy, Ustadz Ayi Nurjaman, seorang ulama Nahdlatul Ulama, mengatakan bahwa selama kegiatan adu domba dilakukan dengan cara yang tidak menyiksa hewan dan si hewan tidak mengalami penderitaan yang berlebihan, maka kegiatan tersebut diperbolehkan.

Namun, lain halnya dengan Ustadz Ujang Juanda yang merupakan seorang Ulama Persatuan Islam (PERSIS). Ia menegaskan dirinya menolak kegiatan adu domba. Menurutnya, kegiatan itu dapat menyebabkan stres dan cedera pada hewan yang bertentangan dengan prinsip kesejahteraan hewan dalam Islam.

Lebih lanjut, melansir dari NU Online, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW. melarang keras umatnya untuk menyakiti hewan hidup. Larangan itu juga ada dalam hadits Riwayat HR Abu Dawud dan At Tirmidzi dari sahabat Ibnu Abbas RA. Iman Bukhari yang berbunyi:

عن ابن عباس قال نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ التَّحْرِيشِ بَيْنَ الْبَهَائِم

“Dari sahabat Ibnu Abbas, ia berkata, Rasulullah SAW melarang (kita) mengadu binatang,” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi).

Secara keseluruhan, praktik kontes seni ketangkasan adu domba dalam hukum Islam jelas menekankan bahwa tidak boleh melukai hewan dan membuat hewan merasa tersiksa, apalagi sampai mati.

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.