Mengenal Koko Koswara, Sang Maestro Karawitan Sunda
Mengulas perjalanan hidup Koko Koswara alias Mang Koko, maestro karawitan Sunda yang memodernisasi kesenian tradisional tanpa meninggalkan akar budaya.
Pada sebuah pagi di Indihiang, Tasikmalaya, tanggal 10 April 1917, lahirlah seorang anak laki-laki yang kelak dikenal luas dalam dunia seni tradisional Sunda. Namanya Koko Koswara, atau yang akrab disapa Mang Koko. Sejak usia muda, kecintaannya terhadap seni sudah terlihat jelas. Ayahnya yang merupakan seorang guru banyak mengenalkannya pada budaya Sunda, dan di sanalah benih cinta terhadap karawitan tumbuh subur.
Masa mudanya dilalui dengan penuh rasa ingin tahu. Ia menempuh pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah setingkat SMP kala itu, dan di sinilah ia mulai aktif mendalami kesenian secara lebih serius. Tidak puas hanya dengan pendidikan formal, Mang Koko juga belajar langsung dari para seniman karawitan di tanah Pasundan. Ia memainkan suling, kacapi, dan rebab dengan semangat belajar yang tidak pernah padam.
Baca juga: Dari Gunting ke Gelar Sarjana: Kisah Inspiratif Irawan Hidayah, Tukang Cukur yang Jadi Insinyur
Apa yang membuat Mang Koko istimewa bukan hanya kemampuannya dalam memainkan alat musik tradisional, tapi juga pemikirannya yang jauh melampaui zamannya. Di tengah derasnya pengaruh budaya luar, ia tidak merasa terancam. Sebaliknya, ia melihat peluang untuk menjaga seni tradisional agar tetap hidup dan berkembang. Salah satu warisannya yang paling dikenal adalah sistem notasi angka untuk karawitan Sunda. Melalui sistem ini, musik tradisional yang sebelumnya diajarkan secara lisan kini bisa dipelajari secara sistematis, bahkan oleh orang-orang yang belum akrab dengan gamelan.
Upayanya untuk menjaga budaya tidak berhenti di ranah penciptaan. Pada tahun 1961, ia mendirikan Akademi Seni Karawitan Indonesia di Bandung. Lembaga ini menjadi tempat bagi banyak orang untuk belajar seni tradisional dengan pendekatan yang lebih modern. Di sana, Mang Koko tak hanya mengajarkan teknik bermain, tetapi juga menanamkan nilai dan filosofi yang terkandung dalam setiap karya seni. Baginya, memainkan gamelan bukan hanya soal bunyi, tetapi juga soal rasa, etika, dan harmoni dengan kehidupan.
Sepanjang perjalanan hidupnya, Mang Koko melahirkan beragam karya yang kini menjadi warisan berharga dalam khazanah seni dan budaya Sunda. Lagu-lagu seperti Euis, Bulan Dagoan, dan Kacapi Suling menjadi contoh bagaimana seni tradisional bisa menyentuh siapa saja, tanpa harus mengubah bentuk aslinya. Hingga kini, lagu-lagu ciptaannya tetap kerap dibawakan, didengarkan, dan menjadi bagian dari berbagai pertunjukan seni.
Mang Koko wafat pada tahun 1985. Namun, jejaknya tetap hidup. Karya-karyanya diajarkan di ruang kelas, dipentaskan di panggung budaya, dan didengarkan dalam berbagai kesempatan. Lebih dari itu, semangatnya dalam melestarikan budaya menjadi inspirasi bagi banyak orang yang ingin menjaga seni tradisional tetap relevan di tengah perubahan zaman.
Saat ini, karawitan Sunda tidak lagi hanya hadir di acara adat atau lingkungan pesantren. Ia tampil di festival, berkolaborasi dengan musik modern, dan bahkan menjangkau pendengar internasional. Semangat keterbukaan dan inovasi yang ditanamkan oleh Mang Koko menjadi fondasi bagi transformasi ini. Ia menunjukkan bahwa budaya bukan untuk disimpan di museum, melainkan untuk dihidupkan dalam keseharian.
Baca juga: Mengenal Sekolah Rakyat dari Dulu Hingga Sekarang
Mengenang Koko Koswara adalah mengenang semangat seorang seniman yang mencintai budayanya dengan utuh. Ia tidak hanya menjaga apa yang sudah ada, tetapi juga merancang jalan agar budaya itu terus berjalan. Di setiap petikan kacapi, dalam hembusan suling, dan irama gamelan yang mengalun pelan, nama Mang Koko selalu hadir.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.