Percetakan Buku Berbahasa Sunda di Zaman Belanda


[Illustration :Mooibandoeng]

Percetakan buku berbahasa sunda mulai bermunculan pada tahun 1850 hingga saat ini. Percetakan buku berbahasa sunda ini didirikan atas inisiasi pemerintah kolonial Belanda untuk mengatur dan memberi lahan pekerjaan para anggota koloninya. Selain itu, mulai bermunculannya sekolah modern sehingga buku diterbitkan yang akan digunakan sebagai bahan ajar untuk mendidik kaum pribumi.

Semakin banyaknya warga pribumi yang bersekolah dan membaca buku maka Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah institusi yang di sebut Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur yang bertujuan untuk mengurus pendidkan masyarakat pribumi dan juga kelompok membaca yang saat itu mulai memiliki banyak anggota.

Meningkatkannya kesadaran literasi dan sekilah makan Pemerintah Hindia Belanda ini berusaha untuk memberikan bahan bacaan yang menurut mereka pantas dan baik yang bisa dibaca oleh masyarakat pribumi. Kemudian institusi ini berganti nama pada tahun 1917 menjadi Balai Poestaka. Selain percetakan yang dibangun oleh pemerintah, pencetakan lokal seperti percetakan buku berbahasa sunda pun mulai bermunculan. Percetakan lokal berbahasa daerah biasanya dimulai dari sebuah toko buku yang mulai mencetak bahan bacaan mereka sendiri.

Meskipun toko buku tersebut bukanlah percetakan besar seperti percetakan yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, para toko buku ini dapat mencetak, mendistribusikan dan menjual buku yang dicetaknya secara mandiri. Karena mulai banyaknya buku berbahasa sunda maka komunitas membaca buku semakin meningkat. Percetakan buku lokal ini memberikan peran penting pada usah meningkatkan pengetahuan masyarakat sunda yang dapat membantu kemerdekaan Indonesia.

Percetakan buku berbahasa sunda ini berusaha untuk menggunakan bahasa sunda yang bisa dipahami oleh seluruh kalangan serta buku-buku yang diterbitkan ditujukan untuk mengurangi pengaruh kolonialisme dan berusaha untuk meningkatkan pengetahuan budaya lokal sehingga masyarakat lokal dapat memahami dan mencintai budayanya.

Percetakan buku berbahasa sunda dan bahasa daerah lainnya sering menghadapi banyak kesulitan, mulai dari larangan percetakan buku karena isinya tidak sesuai dengan pemerintah Hindia Belanda hingga kualitas bukunya tentu saja jauh berbeda dengan buku yang diterbitkan oleh percetakan pemerintah Hindia Belanda.

Percetakan lokal mencetak buku secara sederhana dan menggunakan bahan baku sederhana. Konten buku dari percetakan buku lokal lebih bebas dan lebih sesuai dengan minat masyarakat. Percentakan lokal tentu saja memiliki nilai dan norma yang berbeda dengan percetakan miliki pemerintah Hindia Belanda.

 

Salah satu percetakan buku berbahasa sunda yang terkenal pada masa itu adalah Toko Boekoe M.I Prawira-Winata yang berlokasi di Bandung. Percetakan buku ini merupakana salah satu percetakan buku lokal yang mencetak cerita-cerita populer yang sudah dii terjemahkan ke dalam bahasa sunda seperti Wawatjan Enden Sari-Banon Tjarios Istri Rajoengan

 

 

Sumber : Mikiharo Moriyama dalam Colonial Print Culture: Sundanese Book Publishing in the Dutch East Indies in the Early Twentieth Century on Lembaran Sejarah


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka