Potret Sastrawan Asal Garut: Yang Fana Hanyalah Waktu, Mereka Abadi


Seperti kata Sapardi, seorang penyair adalah pesulap yang selalu berhasil menggiring pembacanya lewat rangkaian kata penuh makna. Seperti juga mereka, sastrawan asal Garut yang lahir dan besar dengan karya-karyanya yang membumi dan berhasil mengharumkan negeri.

Nah, berikut ini adalah potret sastrawan asal Garut yang namanya abadi hingga kini.

Wing Karjo

[caption id="attachment_4333" align="aligncenter" width="438"] Foto: goodreads.com[/caption]

 

Wing Karjo Wangsaatmaja, lahir di Garut, 23 April 1937 dan wafat di Jepang pada 19 Maret 2002. Ia adalah seorang penyair Indonesia yang aktif pada masa pemapanan sastra Indonesia sejak tahun 1950.

Pada saat SMA, Wing Karjo pindah ke Garut untuk menempuh pendidikan lanjutan di SMA Katolik, setelah menamatkan SD dan SMP di Tasikmalaya. Kemudian setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan tingkat B-1 Bahasa Prancis pada tahun 1962 di Institut des Professeurs de Francais a Etranger, Sorbonne Prancis hingga meraih gelar doktor. Kemudian ia kembali ke Indonesia pada tahun 1984 untuk mengajar di Fakultas Sastra Unpad, lalu pindah ke Jepang untuk mengajar Bahasa Indonesia di Tokyo Goikokugo Daigaku.

Karya-karyanya yang terkenal adalah Selembar Daun (kumpulan puisi, 1974), Perumahan (puisi, 1975), Fragmen Malam (puisi, 1988), Pohon  Hayat (kumpulan cerpen, 2002), Menerjemahkan Sajak Moderen Prancis dalam Dua Bahasa (1972), dan Pangeran Kecil (1979).

 

Achdiat Karta Mihardja

achdiat-karta-mihardja - antimateri.com

Foto: antimateri.com

Achdiat Karta Mihardja, yang lebih dikenal dengan nama pena singkatnya Achdiat K. Mihardja, adalah seorang penulis, novelis, dan penulis drama Indonesia. Ia terkenal karena novelnya, Atheis, yang diterbitkan pada tahun 1949.

Achdiat K. Mihardja, lahir di Garut, 6 Maret 1911. Aktif sebagai Redaktur Balai Pustakan, Guru di Perguruan Taman Siswa, Dosen Fakultas Sastra UI, dan Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Raya. Ia juga pernah menjadi redaktur harian Bintang Timur dan majalah Gelombang Zaman.

Selain menjadi bintang di tanah air, nama Achdiat juga diakui oleh beberapa negara di dunia. Kiprahnya di bidang kesusastraan, menjadikannya tumbuh sebagai seorang sastrawan dengan kemampuan yang luar biasa. Sejak tahun 1961 hingga pensiun, dirinya bekerja sebagai seorang dosen di Australian National University, Canberra, Australia. Di tahun 1951, ia pernah menjadi wakil Indonesia dalam Kongres Internasional PEN Club di Lausanne, Swiss.

Selain Atheis, karya-karyanya yang terkenal adalah kumpulan cerpen Keretakan dan Ketegangan (1956), Bentrok dalam Asmara (drama, 1952), Kesan dan Kenangan (1960), Debu Cinta Beterbangan (novel, Singapura, 1973), Belitan Nasib (Kumpulan Cerpen, 1975), Pembunuhan dan Anjing Hitam (kumpulan cerpen, 1975), Pak Dullah in Extrimis (drama, 1997), Si Kabayan, Manusia Lucu (1997), Si Kabayan Nongol di Zaman Jepang (2005).

Yus Rusyana

 

Yus Rusyana - Kemendikbud

Foto: Kemendikbud

Prof. Dr. Yus Rusyana, lahir di Pameungpeuk, Garut Selatan, pada tanggal 24 Maret 1938. Ia adalah seorang akademisi di bidang sastra yang berhasil menarik minat beberapa universitas di Jawa Barat.

Berawal dari kekagumannya akan sosok guru semasa sekolah, Yus Rusyana kemudian bertekad untuk menjadi seorang pendidik. Ia melanjutkan pendidikan menengah di Sekolah Guru B Negeri 1 Gatut (SGBN 1 Garut) pada tahun 1952-1955. Kemudian bakatnya di bidang pendidikan, kembali berkembang di Sekolah Guru A Negeri 1 Bandung pada tahu 1955-1958. Ia lalu menamatkan kuliah dengan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (IKIP) Bandung (yang sekarang adalah UPI).

Karya-karyanya yang terkenal, antara lain Cahaya Maratan Waja (1964), Hutbah Munggara di Pajajaran (1965), dan Di Karaton Najasii (1966). Selain itu ia juga menulis beberapa karya tulis ilmiah, yaitu Bahasa Sunda Murid SD Kelas VI di Jawa Barat (198) dan Pedoman Penulisan Tata Bahasa Indonesia (1983) yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa.

Suparna Sastra Direja

"<yoastmark

Foto: Kemendikbud

Suparna Sastra Diredja, lahir di Tarogong, Garut, 2 Juni 1915 dan wafat di Amsterdam, Belanda pada 7 Juli 1996. Ia adalah seorang tokoh kemerdekaan Indonesia, tokoh serikat buruh, dan penyair yang hidupnya berakhir dalam pengasingan Belanda.

Suparna menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School di Cicalengka dan lulus pada tahun 1930. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke MULO di Bandung, dan lulus pada tahun 1933, Lalu pada tahun 1939 menamatkan pendidikan di Middelbare School (AMS) di Batavia.

Karya-karyanya yang terkenal, yaitu Romusa (1987), Bermukim di Bumi Belanda, Kuda Pacu Wedana Leles, "MMC" di Lereng Merapi-Merbabu, Petani Singaparna Berontak, dan beberapa karya lainnya yang ia terbitkan dalam bahasa Belanda dengan menggunakan nama samaran.

Dodong Djiwapraja

 

Dodong Djiwapraja - Kemendikbud

Foto: Kemendikbud

Dodong Djiwapraja adalah seorang penyair yang lahir di Banyuresmi, Garut. Ia mulai menulis puisi pada tahun 1948 dan dipublikasikam di berbagai majalah Indonesia, seperti Mimbar Indonesia, Gema Suasana, Siasat, dan Budaya Djaya.

Selain menjadi penyair, sosok Dodong Djiwapraja, dikenal juga sebagai penerjemah beberapa judul buku, antara lain Rumah Tangga yang Bahagia karya Leo Tolstoy, Islam, Filsafat, dan Ilmu yang diprakarsai oleh Unesco. Kemudian pada tahun 2001, kumpulan puisi Kastalia yang ditulis tahun 1997 memperoleh penghargaan dari Pusat Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Bergelar Sarjana Hukum, ia menjadi dosen sastra di Fakultas Sastra UI, Unpad, dan Uninus. Selain itu, ia pernah diundang sebagai wakil sastrawan Indonesia dalam pertemuan sastra di Turkestan pada tahun 1963.

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka