Tradisi Nyawer Panganten, Upacara Pernikahan Adat Sunda yang Memiliki Banyak Nasihat


Ada beberapa tradisi yang sangat unik dalam budaya Sunda. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang berfungsi dalam prosesi pernikahan adat Sunda. Selain sebagai tontonan, juga mempunyai maksud dan tujuan  tersembunyi.

Misalnya saja ada puisi Sawèr Pangantèn yang isinya merupakan bentuk kepedulian terhadap pembentukan karakter khususnya berumah tangga. Tradisi lisan pada hakikatnya merupakan ekspresi budaya masyarakat yang mencakup banyak aspek kehidupan sehari-hari.

Nyawèr berasal dari kata yang berarti dua macam dalam Kamus Umum Bahasa Sunda (1954). Sawèr digunakan sebagai air hujan yang masuk ke dalam rumah bila tertiup angin dan sebagai menabur (pengantin) dengan nasi yang dicampur tektek perak (lipatan sirih) dan kunyit yang diiris.

Lirik sawèr pangantèn merupakan rumpaka yang dapat dinyanyikan atau dilantunkan dengan nada tertentu oleh seorang ahli. Sawer sendiri  dilihat dari wujudnya merupakan bagian puisi seperti halnya syair, pupuh, dan sisindiran yang mengandung peribahasa. Sawer memiliki nilai estetis dalam pembentukannya, ditandai dengan keindahan bahasa yang digunakan. 

Nyawèr pangantèn biasanya dipimpin oleh seorang ahli yang disebut juru sawèr yang terdiri dari dua orang laki-laki dan satu orang perempuan. Biasanya pemain sawèr adalah orang yang mewakili orang tua kedua pengantin ketika menyanyikan puisi sawèr. Seolah-olah menjadi orang tua berarti memberikan nasehat kepada anaknya yang sedang mempersiapkan kehidupan berumah tangga baru.

Barang yang digunakan dalam tradisi ini, yaitu beras putih, kunyit yang telah diiris tipis, permen atau kembang gula, uang logam sesuai permintaan, leupit, dan payung untuk pengantin.

Beras putih dipahami sebagai kedamaian dalam keluarga karena dianggap sebagai  cadangan pangan yang aman. Leupit adalah sejenis sirih yang dilipat segitiga berisi kapur sirih, gambir, pinang, kapol, saga dan tembakau.

Leupit dipahami sebagai pembuka dalam kehidupan keluarga. Sedangkan rasa leupi yang pahit-manis melambangkan hidup berkeluarga yang tidak selalu mengalami masa-masa manis tetapi juga ada masa-masa pahit.

Kehadiran kunyit sebagai simbol emas berasal dari warnanya, yakni kuning. Artinya ketika berumah tangga, kedua mempelai akan dihormati oleh orang lain dan saling menghargai, seperti menghargai betapa besarnya nilai emas.

Uang logam dalam tradisi ini dipahami sebagai simbol perdamaian atau kekayaan. Tak hanya di dunia saja, kedua mempelai juga harus mempersiapkan segala sesuatunya bersama-sama untuk menghadapi dunia selanjutnya.

Manisnya permen dimaknai bahwa kehidupan berumah tangga perlu diwarnai dengan rasa manis atau dilandasi keharmonisan keluarga yang luwes, tidak monoton, penuh inovasi, fungsi keluarga sesuai dengan keinginan untuk mencapai kebahagiaan. Hal itu bisa dicapai dengan saling mencintai, tidak mudah terpancing nafsu, dan saling mengalah untuk menghindari konflik.***


0 Komentar :

    Belum ada komentar.