K.F. Holle, Orang Belanda yang Menyejahterakan Masyarakat Sunda
Tahukah Warginet? Di masa penjajahan Belanda, ada salah seorang Belanda yang sangat dekat dengan orang-orang tanah Sunda, yakni Karel Frederik Holle. Pria kelahiran Amsterdam, 9 Oktober 1829 ini pertama kali menginjakkan kaki di Kabupaten Garut pada 1857.
Awalnya, Holle hanya bertugas sebagai pengawas perkebunan di Bayongbong, Garut. Namun masa tugas yang awalnya administratif justru menjadi titik tolak bagi keterlibatannya yang lebih dalam pada kehidupan masyarakat Sunda.
Salah satu hal yang membuat Holle unik adalah kemampuannya berbahasa Sunda secara fasih—begitu fasihnya hingga sesama warga Belanda menyebutnya "berbahasa Sunda seperti orang Sunda". Ia tidak segan mengenakan pakaian adat Sunda dan hidup bersahaja bersama warga lokal. Dari kedekatan itulah, ia melihat potensi luar biasa dalam kebudayaan lokal yang saat itu terpinggirkan oleh dominasi budaya kolonial dan bahasa Melayu.
Pelestari Naskah dan Penggagas Buku Bacaan Sunda
Salah satu kontribusi terbesar Holle adalah perannya dalam menyelamatkan dan mendokumentasikan naskah-naskah Sunda lama. Mulanya sebagai kolektor, Holle kemudian menjadi penerbit dan editor berbagai teks wawacan (puisi naratif Sunda klasik) dan naskah pertanian. Ia menjadikan naskah-naskah ini bukan hanya sebagai artefak, tetapi juga alat untuk edukasi masyarakat.
Karya yang paling populer dari Holle adalah "Tjarita Koera-Koera djeng Monjet" (Cerita Kura-Kura dan Monyet), sebuah fabel yang ditulis dalam bahasa Sunda sehari-hari. Buku ini menjadi bahan ajar di berbagai sekolah di Priangan dan menandai transisi penting dari dominasi bacaan berbahasa Melayu menuju penggunaan bahasa daerah dalam pendidikan. Dalam konteks ini, Holle tidak hanya membangun literasi, tetapi juga membantu memperkuat identitas budaya masyarakat Sunda.
Pengaruh Terhadap Pendidikan dan Penulis Lokal
Kontribusi Holle meluas ke ranah pendidikan formal. Ia terlibat dalam pendirian sekolah guru di Bandung—sebuah langkah penting dalam mempersiapkan generasi pengajar lokal yang kompeten. Ia juga menjadi mentor bagi sastrawan dan cendekiawan Sunda seperti Moehamad Moesa, Adi Widjaja, dan Hasan Mustapa. Bersama Moesa, Holle menerjemahkan naskah-naskah klasik, termasuk dari Situs Ciburuy, yang hingga kini menjadi rujukan penelitian filologi.
Dalam era ketika pengetahuan dikontrol oleh kekuasaan kolonial, Holle justru memberi ruang dan dukungan bagi intelektual lokal untuk berkembang dan menulis dalam bahasa mereka sendiri. Ini adalah bentuk nyata dari transfer pengetahuan yang memandirikan.
Artikel Pilihan: Ternyata Ada Gudang Senjata Peninggalan Jepang di Situ Bagendit Loh
Menyatukan Pertanian dan Pendidikan Rakyat
Tak hanya dalam kebudayaan dan literasi, Holle juga punya kontribusi besar di bidang agrikultur. Ia menulis berbagai risalah pertanian praktis yang dirancang untuk dibaca oleh petani lokal. Buku-buku ini menyampaikan teknik pertanian modern dengan pendekatan yang mudah dimengerti dalam bahasa Sunda. Gagasannya ini jauh melampaui zaman karena mengaitkan antara penguasaan ilmu pengetahuan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Dengan pendekatan partisipatif dan bahasa yang membumi, Holle membantu masyarakat Sunda memahami cara bercocok tanam yang lebih efisien dan produktif, sehingga secara tidak langsung juga meningkatkan kesejahteraan mereka. Dalam catatan pemerintah Hindia Belanda, ia dikenal sebagai tokoh yang gigih menyuarakan pentingnya penyuluhan kepada petani bumiputra.
Warisan dan Relevansi Masa Kini
Hari ini, nama Holle memang tidak banyak disebut dalam buku-buku sejarah populer. Namun dalam komunitas akademik dan budaya Sunda, namanya tetap dikenang sebagai pelopor pendidikan, penyelamat naskah kuno, dan pendamping sejati masyarakat lokal. Beberapa naskah terbitannya masih menjadi koleksi penting di perpustakaan dan lembaga budaya seperti Perpustakaan Nasional dan KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde).
Dalam semangat otonomi budaya dan kebangkitan bahasa daerah yang kini sedang digalakkan di berbagai daerah Indonesia, kiprah Holle relevan kembali. Ia memberi contoh bahwa kerja lintas budaya dan lintas bangsa bisa menjadi alat pemberdayaan, bukan dominasi.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.