Krisis Rumah Tangga? Menelisik Penurunan Pernikahan dan Lonjakan Angka Perceraian di Indonesia
Maraknya penurunan minat pernikahan pada anak-anak muda mengalami penurunan dengan lonjakan angka perceraian yang semakin meningkat dan tidak berimbang.
Fenomena krisis rumah tangga kian terasa dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka pernikahan saat ini sepuluh tahun terakhir ini mengalami penurunan. Disebutkan juga bahwa angka perceraian justru semakin meningkat. Dua indikator ini menjadi sorotan penting dalam memahami dinamika keluarga di Indonesia saat ini.
Baca Juga: 17 Tradisi Pernikahan Adat Sunda yang Penuh Nilai dan Makna
Pernikahan Menurun Drastis dalam Satu Dekade
Dilansir infogarut melalui unggahan Instagram @lalana.corp, disebutkan bahwa pada tahun 2014 jumlah pernikahan di Indonesia tercatat sebanyak 2.110.776 pasangan. Namun, angka tersebut mengalami penurunan signifikan menjadi hanya 1.478.302 pernikahan pada tahun 2024.
Penurunan ini sekaligus menjadi yang terendah dalam kurun waktu 2014–2024.Hal ini dapat dipengaruhi karena pola pikir dan preferensi masyarakat, khususnya generasi muda yang tergeserkan terhadap minat untuk menikah.
Disebutkan bahwa penurunan jumlah pernikahan terjadi di wilayah perkotaan yang disebabkan oleh faktor pendidikan, kemandirian finansial, serta pergeseran gaya hidup.
Faktor Penyebab Penurunan Pernikahan
Berdasarkan keterangan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan menurunnya angka pernikahan di Indonesia:
1. Pendidikan
Semakin tingginya angka partisipasi pendidikan membuat banyak individu menunda usia menikah.
2. Kondisi Finansial
Ketidakstabilan ekonomi menjadi alasan utama individu merasa belum siap untuk berumah tangga.
3. Tempat Tinggal
Akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau masih menjadi kendala, terutama di kota-kota besar.
Baca Juga: Tahapan Tradisi Pernikahan Adat Sunda Sebelum Hari H yang Sarat Makna
Lonjakan Angka Perceraian: Pasca Pandemi Jadi Titik Kritis
Di sisi lain, angka perceraian mengalami tren peningkatan. Masih mengacu pada data BPS, tercatat 344.237 kasus perceraian pada tahun 2014, dan meningkat drastis pada tahun 2024 menjadi 394.608 kasus. Lonjakan tertinggi justru terjadi pada tahun 2022, yakni 516.344 kasus perceraian, yang merupakan imbas sosial dari pandemi Covid-19.
Pandemi diyakini memperburuk kondisi rumah tangga melalui tekanan ekonomi, PHK, dan meningkatnya konflik akibat interaksi yang intens di rumah. Banyak pasangan yang mengambil keputusan tersebut, karena sudah tidak sejalannya antarkedua belah pihak didukung ketidaksesuaian ekspektasi dalam pernikahan yang mereka jalani.
Menurut Direktur Bina Ketahanan Remaja BKKBN, perceraian juga banyak dipicu oleh pernikahan yang dilakukan tanpa persiapan matang, rendahnya literasi tentang relasi sehat, serta meningkatnya penggunaan media sosial dan perselingkuhan digital.
Cermin Perubahan Sosial
Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat, dari yang dulunya menempatkan pernikahan sebagai tujuan utama kehidupan dewasa, kini beralih ke pencapaian personal dan finansial juga memperkuat hal ini.
Fenomena penurunan pernikahan dan lonjakan angka perceraian menunjukkan bahwa krisis rumah tangga tidak semata soal relasi antarpasangan, tetapi juga terkait dengan dinamika sosial-ekonomi yang lebih besar.
Data yang disampaikan oleh BPS dan BKKBN menggambarkan kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Krisis rumah tangga di Indonesia terlihat dari dua sisi: menurunnya minat masyarakat untuk menikah, dan meningkatnya jumlah pasangan yang memilih bercerai.
Untuk menanggulangi hal ini, perlu upaya menyeluruh yang mencakup edukasi pranikah, penguatan ekonomi keluarga, dan formulasi kebijakan perlindungan sosial.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.