ADVERTISEMENT
Beranda Pembatasan Program Gratis Ongkir E-Commerce: Ancaman bagi UMKM dan Konsumen?

Pembatasan Program Gratis Ongkir E-Commerce: Ancaman bagi UMKM dan Konsumen?

3 minggu yang lalu - waktu baca 3 menit
Pembatasan Program Gratis Ongkir E-Commerce: Ancaman bagi UMKM dan Konsumen? (Ilustrasi: Freepik)

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) resmi membatasi program gratis ongkos kirim (ongkir) di platform e-commerce hanya menjadi tiga hari dalam sebulan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (Permen Komdigi) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos Komersial. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menciptakan ekosistem logistik dan perdagangan digital yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Namun, di lapangan, kebijakan ini memunculkan kekhawatiran luas dari para pelaku usaha daring dan pengamat ekonomi digital. Pelaku UMKM online mulai merasakan bayang-bayang penurunan penjualan, sementara pengamat ekonomi menyebut potensi distorsi pasar sebagai konsekuensi dari intervensi ini.

Pelaku UMKM Resah: Penjualan Terancam Turun

Salah satu pelaku usaha daring, Eva Kurnia, mengaku waswas kebijakan ini akan membuat omzet usahanya anjlok. Selama ini, kata Eva, sebagian besar konsumennya berasal dari luar kota yang bergantung pada fasilitas gratis ongkir saat berbelanja.

“Sebelum ada gratis ongkir, mukena saya hanya laku saat menjelang Ramadan dan Lebaran. Tapi sekarang, saya bisa jualan rutin tiap bulan karena pelanggan terbantu oleh ongkir gratis,” ujarnya.

Menurutnya, lonjakan penjualan paling terasa ketika marketplace memberikan gratis ongkir saat momentum khusus seperti tanggal cantik atau kampanye flash sale, apalagi sering disertai cashback. Dengan pembatasan ini, ia memperkirakan setidaknya 50 persen konsumennya akan ragu untuk tetap berbelanja online.

Eva juga menyoroti efek domino kebijakan ini terhadap sektor lain, seperti jasa pengiriman. Jika volume transaksi menurun, otomatis jumlah paket yang harus diantar juga turun, dan pendapatan kurir pun ikut terdampak.

Baca Juga: Forum Ekonomi Kreatif Garut Dideklarasikan, Dorong Kolaborasi Lintas Sektor untuk Garut Kota Kreatif

Pengamat: Kebijakan Ini Timbulkan Distorsi Pasar

Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Kepala Center Digital Economy and SMEs Indef, Izzudin Al Farras. Ia menilai, pembatasan gratis ongkir justru bisa menimbulkan distorsi pasar, terutama karena sulitnya menetapkan standar biaya pokok pengiriman yang seragam di tengah variasi harga dan layanan dari berbagai perusahaan logistik.

“Akibat distorsi ini, konsumen bisa terbebani dengan kenaikan harga yang tidak proporsional. Apalagi, dalam banyak kasus, program gratis ongkir dan diskon ditanggung oleh platform e-commerce, bukan oleh penyedia logistik,” jelasnya.

Izzudin memperingatkan bahwa kebijakan ini akan mempersempit akses masyarakat, terutama yang tinggal di luar perkotaan dan luar Pulau Jawa, untuk mendapatkan barang kebutuhan melalui platform daring. Selain itu, potensi penurunan daya beli juga patut diwaspadai.

“Konsumen di daerah bisa kesulitan belanja online karena biaya ongkir yang lebih mahal dari harga barangnya sendiri,” tambahnya.

Hambat Inovasi dan Kurangi Daya Saing Digital

Pembatasan gratis ongkir juga dikhawatirkan akan mengurangi fleksibilitas penetapan harga oleh pelaku e-commerce, serta menghambat inovasi bisnis di sektor digital. Padahal, selama ini, strategi diskon dan subsidi ongkir telah menjadi bagian penting dari daya tarik dan pertumbuhan industri digital Indonesia.

“Intervensi seperti ini bisa merusak strategi pemasaran e-commerce dan menghambat perkembangan sektor digital yang tengah tumbuh pesat,” kata Izzudin.

Kebijakan pembatasan gratis ongkir mungkin dimaksudkan sebagai upaya menyeimbangkan pasar logistik nasional. Namun jika tidak disertai dengan pemetaan dampak yang menyeluruh dan strategi mitigasi yang tepat, kebijakan ini berisiko merugikan pelaku UMKM, konsumen, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi digital nasional.

Dialog terbuka antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil menjadi sangat penting agar kebijakan yang diterapkan tetap berpihak pada kemajuan inklusif dan berkelanjutan.

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.