Poe Lilikuran : Tradisi Menghitung 10 Hari Terakhir Bulan Ramadan di Tatar Sunda


Poe lilikuran adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di Tatar Sunda sepertu Garut di 10 malam terkahir bulan Ramadan. Poe lilikuran ini diambil kata poe yang artinya hari dan lilikuran ini merujuk pada tanggal ganjil di bulan Ramadan. Poe lilikuran di mulai di malam ke 21 Ramadan yang dimana 21 Ramadan termasuk ke dalam tanggal ganjil.

Dalam melaksanakan poe lilikuran biasanya masyarakat membuat makanan kecil seperti kue, lontong dan makanan lainnya yang kemudian makanan ini akan dibagikan ke saudara atau tetangga sekitar. Selain itu, makanan ini juga akan diberikan ke masjid untuk para peserta itikaf.

Dalam melaksanakan tradisi poe lilikuran ini perasaan masyarakat sunda sangatlah campur aduk. Senang bahwa sebentar lagi akan berlebaran dan sedih bahwa bulan Ramadan akan segera berakhir. Di masa lilikuran atau 10 hari terakhir bulan Ramadan masyarakat sudah disibukan untuk mempersiapkan lebaran. Di tahun 80-an masyarakat Sunda menyiapkan lebaran dengan memasak banyak makanan seperti kue.

Masakan yang biasanya di masak oleh masyarakat Sunda pada tahun 80-an adalah dodol beas (dodol beras), wajit, kueh pala, kueh gedang atapun kue kering. Selain memasak makanan dan kue masyarakat Sunda juga mulai berburu baju lebaran, tempat berbelanja seperti toko baju dan pasar-pun sudah mulai padat.

Saat ini tradisi poe lilikuran sudah jarang dilaksanakan, lilikuran dewasa kini hanyalah proses menghitung hari-hari ganjil di 10 hari terakhir Ramadan ini. Salikur berarti tanggal 21 Ramadan, dua likur berarti 22 Ramadan dan seterusnya.

 

 

 

 

Sumber : kdp.sukabumikota.go.id


0 Komentar :

    Belum ada komentar.

Mungkin anda suka