Serangan Ganda Israel di Rumah Sakit Nasser Kembali Memakan Korban, Termasuk Wartawan dan Tim Medis
Serangan Israel kembali menewaskan sekitar 21 warga Palestina, termasuk lima jurnalis, tenaga medis, dan tim penyelamat dengan menyerang Rumah Sakit Nasser.
Serangan udara dilakukan oleh tentara Israel yang mengakibatkan korban tewas tepat di jalur Gaza Selatan. Serangan ini kembali menyoroti dampak serius terhadap warga sipil dan sistem kesehatan yang sudah hancur akibat konflik berkepanjangan.
Serangan tersebut merupakan serangan double-tap, merupakan teknik yang melibatkan serangan pertama diikuti serangan kedua dalam waktu singkat. Serbuan pertama menghantam bagian atas bangunan rumah sakit. Ketika tim penyelamat dan para wartawan sedang berusaha menyelamatkan orang-orang di sana, terjadilah ledakan kedua.
Di antara para korban terdapat Mohammad Salama seorang jurnalis Al Jazeera, juru kamera Reuters Hussam al-Masri, jurnalis lepas Mariam Abu Daqqa yang bekerja untuk Associated Press, serta dua wartawan lainnya, Ahmed Abu Aziz dan Moaz Abu Taha.
Dilansir dari Al Jazeera, mengungkapkan bahwa serangan ini memicu kepanikan luas, tidak hanya di sekitar rumah sakit, tapi juga di dalamnya, tempat pasien seharusnya mendapat perlindungan sesuai hukum kemanusiaan internasional.
Baca Juga: Serangan Israel Kian Mengerikan di Tengah Harapan Gencatan Senjata, Hampir 19.000 Anak Gaza Tewas
Kecaman Internasional
Serangan yang terjadi itu memicu kecaman dari berbagai pihak, terutama dari organisasi yang memperjuangkan hak asasi manusia, serta kebebasan pers. Al Jazeera menyebut serangan tersebut sebagai usaha nyata untuk mengubur kebenaran, sementara Pelapor Khusus PBB untuk wilayah Palestina, Francesca Albanese, menekankan bahwa kekerasan terhadap pekerja penyelamat dan jurnalis terjadi terus-menerus, namun sering luput dari dokumentasi dan perhatian global.
“Berapa banyak lagi yang harus disaksikan dunia sebelum bertindak?” ujar Albanese, menyerukan diakhirinya blokade, serta diberlakukannya embargo senjata dan sanksi terhadap Israel.
Negara-negara yang mendukung Israel setuju menyelidiki konflik yang sedang berlangsung saat ini. Namun, banyak pihak skeptis terhadap hasil penyelidikan mengingat rendahnya akuntabilitas atas serangan-serangan serupa di masa lalu.
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menyerukan kepada komunitas internasional untuk menuntut pertanggungjawaban Israel atas serangan terhadap media yang semakin sering terjadi. Sementara itu, Serikat Jurnalis Palestina mengecam tindakan tersebut sebagai perang terbuka terhadap media bebas dan upaya sistematis untuk membungkam suara dari Gaza.
Dengan kematian enam jurnalis pada hari yang sama, jumlah wartawan yang tewas di Gaza sejak 7 Oktober 2023 kini mencapai setidaknya 273 orang.
Baca Juga: Israel Serang Gaza, Kelaparan Paksa Jadi Senjata Perang
Serangan Meluas dan Krisis Kemanusiaan Meningkat
Israel yang juga menyerang beberapa titik wilayah gaza, sehingga serangan tersebut termasuk tembakan terhadap warga yang sedang mencari bantuan kemanusiaan. Hal itu menyebabkan tujuh orang tewas dan belasan lainnya luka-luka.
Pasukan Israel yang terus menggempur Kota Gaza, mendorong sekitar satu juta warga menuju wilayah selatan yang dijuluki sebagai zona konsentrasi. Sementara itu, lebih dari 1.000 bangunan dilaporkan hancur sejak awal Agustus, dengan ratusan orang terjebak di bawah reruntuhan dan akses bantuan terhambat oleh blokade serta penembakan.
Laporan dari Rumah Sakit al-Awda menyebutkan enam orang, termasuk seorang anak, tewas akibat dua serangan terpisah di Gaza Tengah. Di saat yang sama, Rumah Sakit al-Shifa mengonfirmasi kematian tiga orang lainnya, termasuk satu anak, akibat serangan serupa.
Kelaparan dan Malnutrisi Anak Semakin Parah
PBB melalui Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) memperingatkan bahwa kondisi kelaparan dan malnutrisi, khususnya di kalangan anak-anak, semakin parah. Mereka menegaskan kembali pentingnya akses penuh dan tanpa hambatan terhadap bantuan kemanusiaan di seluruh wilayah Gaza.
Oxfam, organisasi kemanusiaan internasional, menyebut situasi di Gaza sebagai krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam hal skala dan tingkat keparahannya.
“Ini adalah bencana kemanusiaan tunggal yang paling buruk yang pernah saya saksikan,” ujar Chris McIntosh, penasihat tanggap darurat Oxfam untuk wilayah Gaza.
Baca Juga: Krisis Gaza: Mati Kelaparan di Tengah Serangan Militer dan Terbatasnya Bantuan yang Masuk
Prediksi Akhir Konflik dan Realita yang Masih Suram
Sementara itu, mantan Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa perang di Gaza mungkin akan berakhir dalam dua hingga tiga minggu ke depan. Namun, janji yang dulu sempat diucapkannya berbanding kebalik dengan faktanya. Amerika Serikat yang cenderung mendukung kekuatan militer Israel.
“Perang ini harus segera berakhir, karena adanya di tengah antara kelaparan, kematian, dan penderitaan lain yang tak terbayangkan,” ujar Trump.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.