Soeria Kartalegawa, Bupati Garut yang Pro Belanda
Soeria Kartalegawa dikenal sebagai Bupati Garut yang mendirikan Negara Pasundan dan berpihak pada Belanda di masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Nama Soeria Kartalegawa tidak bisa dilepaskan dari sejarah Garut serta masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Sosok menak Sunda ini dikenal karena langkah kontroversialnya demi memproklamasikan berdirinya Negara Pasundan pada 4 Mei 1947 dengan dukungan Belanda, sebagaimana dikutip dari Tirto.id.
Baca juga: Gubernur Jawa Barat Tolak Beras Belanda Tahun 1945
Proklamasi Negara Pasundan
Pada 4 Mei 1947 yang berlangsung di alun-alun Bandung, Soeria Kartalegawa memproklamasikan berdirinya Negara Pasundan dengan dukungan sejumlah pejabat Belanda. Keputusan tersebut didorong oleh rasa kecewa karena dua gubernur Jawa Barat sebelumnya bukan orang Sunda, yakni Sutardjo Kertohadikusumo dan Datuk Djamin Sutan Maharaja.
Berdasarkan dari Negara Pasundan 1947–1950: Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional karya Agus Mulyana, Kartalegawa membentuk Partai Rakyat Pasundan (PRP) pada 1946 sebelum proklamasi. Namun, dirinya dianggap tidak bisa dipercaya oleh pejabat Belanda seperti Van Mook yang memandang Kartalegawa sebagai sosok korup serta terlalu tergesa-gesa dalam bertindak.
Penolakan dari Keluarga dan Tokoh Sunda
Negara Pasundan yang didirikan oleh Kartalegawa ternyata tidak mendapatkan dukungan luas. Banyak tokoh Sunda, termasuk keluarga besar Wiranatakusumah, menolak negara tersebut serta menyatakan kesetiaan kepada Republik Indonesia. Bahkan, anak dan istrinya menyayangkan tindakan Kartalegawa yang berpihak kepada NICA.
Susanto Zuhdi dalam tulisannya Antara Sewaka dan Soeria Kartalegawa menerangkan bahwa banyak masyarakat Sunda yang memandang bahwa tindakan Kartalegawa sebagai bentuk oportunisme politik. Ia bahkan diberikan julukan sebagai “NICA-Legawa” oleh rakyatnya sendiri karena dianggap sebagai boneka Belanda.
Menak yang Kesiangan
Kartalegawa yang lahir di Garut pada 26 Oktober 1897, pernah menjabat sebagai Bupati Garut. Ia berasal dari keluarga menak yang terbiasa dekat dengan Belanda serta menolak perubahan sosial pasca kemerdekaan. Menurutnya, revolusi justru mengancam hak-hak istimewa golongan bangsawan Sunda.
Menurut Agus Mulyana, Soeria Kartalegawa termasuk menak yang “kesiangan” karena gagal membaca arah zaman. Ketika rakyat menolak feodalisme, ia masih berusaha mempertahankan struktur lama. Akibatnya, masyarakat tidak lagi menghormatinya seperti masa kolonial.
Baca juga: Sejarah Perang Bubat: Majapahit dan Sunda yang Penuh Tragedi
Jadi, Warginet, kisah Soeria Kartalegawa bukan sekadar sosok bangsawan Garut yang kehilangan arah politik, tetapi juga cermin dari masa peralihan antara feodalisme dan nasionalisme. Ia menjadi pengingat bahwa kehormatan sejati tidak datang dari kedudukan, melainkan dari keberpihakan kepada rakyat dan tanah air.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.