Banjir Sumatra Belum Ditetapkan Bencana Nasional: Menilik Kebijakan, Korban dan Sorotan Bisnis Sawit Prabowo
Gelombang bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan khususnya Sumatera Barat telah menimbulkan duka mendalam bagi bangsa.
Hingga artikel ini ditulis, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sudah ada 964 korban jiwa, 264 orang masih dinyatakan hilang dan 894.101 mengungsi. Bahkan kerugian materiil diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Skala kerusakan yang meluas secara lintas provinsi ini seharusnya menuntut respons darurat dari Pemerintah Pusat.
Namun, hingga saat ini, pemerintah belum menetapkan serangkaian peristiwa ini sebagai Bencana Nasional. Keputusan ini memicu perdebatan di publik: Mengapa status ini belum ditetapkan, padahal dampak yang ditimbulkan sudah sangat masif dan melampaui kapasitas penanganan pemerintah daerah?
Baca Juga: Atasi Daerah yang Terdampak Bencana Alam, Pemkab Garut Turunkan Tim Gabungan
Mengapa Status Bencana Nasional Belum Ditetapkan?
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penetapan status bencana didasarkan pada besaran lima indikator, termasuk jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan infrastruktur, dan dampak sosial ekonomi.
Argumentasi Pemerintah
Pemerintah melalui BNPB menyatakan bahwa penanganan bencana masih dianggap berada dalam kapasitas daerah dengan dukungan sumber daya yang maksimal dari pusat.
Mereka berpendapat bahwa yang membedakan hanya status administratif, sementara dukungan logistik, personel, dan anggaran dari BNPB serta kementerian terkait sudah mengalir deras.
Penetapan status Bencana Nasional terbilang langka dan hanya dilakukan untuk kejadian dengan dampak yang benar-benar melumpuhkan negara (seperti Tsunami Aceh atau Pandemi COVID-19).
Desakan Publik dan Pakar
Di sisi lain, publik, organisasi non-pemerintah, akademisi dan pakar penanggulangan bencana mendesak penetapan status nasional. Alasan utamanya adalah:
-
Koordinasi Terpusat: Status nasional memungkinkan koordinasi komando di bawah satu atap yang lebih kuat dan terpusat, menghilangkan ego sektoral dan kewilayahan.
-
Mobilisasi Sumber Daya: Membuka pintu bagi mobilisasi sumber daya dan anggaran yang lebih besar dan cepat, termasuk potensi bantuan internasional.
-
Pengakuan Skala Bencana: Memberikan pengakuan formal terhadap skala penderitaan dan kerusakan yang luar biasa parah.
Kegagalan menetapkan status ini dikhawatirkan akan memperlambat proses pemulihan dan rekonstruksi jangka panjang.
Bahkan pakar dan akademisi menyebut bahwa penundaan penetapan bencana nasional dinilai memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah menangani krisis ekologis yang muncul dari tata kelola industri ekstraktif.
Baca Juga: Hutan Bukan Komoditas! Ini Bahaya Alih Fungsi untuk Kepentingan Ekonomi Semata
Keterkaitan Bencana dan Bisnis Lingkungan: Sorotan Sawit
Di balik curah hujan ekstrem, banyak temuan di lokasi bencana, seperti kayu gelondongan dan tingginya sedimen, yang menguatkan dugaan bahwa bencana ini bukan murni fenomena alam, melainkan akibat langsung dari kerusakan lingkungan dan perubahan tata guna lahan di wilayah hulu.
Degradasi Hutan dan Ekspansi Monokultur
Ekspansi perkebunan monokultur, terutama kelapa sawit, dinilai menjadi salah satu kontributor utama. Hilangnya tutupan hutan alami yang memiliki kemampuan menyerap dan menahan air membuat fungsi hidrologi lokal terganggu.
Area yang seharusnya menjadi resapan air berubah menjadi limpasan permukaan (run-off) yang deras, memicu erosi, longsor, dan mengalir deras menjadi banjir bandang.
Membedah Rekam Jejak Bisnis Sawit Presiden Prabowo Subianto
Isu lingkungan ini menyeret nama-nama besar di dunia bisnis dan politik. Salah satunya adalah Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, yang rekam jejaknya di sektor kehutanan dan perkebunan kembali disorot tajam oleh publik dan aktivis lingkungan.
-
Portofolio Bisnis
Prabowo diketahui memiliki sejumlah perusahaan di bawah naungan Nusantara Group yang bergerak di bidang pertambangan, energi, dan perkebunan skala besar, mayoritas beroperasi di luar Sumatera.
-
Aksi Korporasi yang Disorot
Sorotan sering tertuju pada perusahaan seperti PT Kertas Nusantara (dulunya Kiani Kertas) yang memiliki konsesi luas. Meskipun konsesi perusahaannya tidak berada di area terdampak langsung di Sumatera Barat, kritik ini relevan karena mendorong diskusi tentang perlunya audit lingkungan yang ketat terhadap semua perusahaan yang menguasai lahan skala besar di Indonesia.
Selain itu, di tengah kerusakan ekologis tersebut, perhatian publik juga tertuju pada konsesi PT Tusam Hutani Lestari (THL), sebuah perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 93.000-97.000 hektar yang terhubung langsung dengan Prabowo Subianto.
Konsesi tersebut membentang di Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, dan Aceh Utara (wilayah yang kini mengalami banjir terparah). Aktivitas dan peneliti lingkungan juga menyebut bahwa keberadaan konsesi besar di kawasan hulu memperburuk kerentanan ekologis karena membuka akses deforestasi, pembangunan jalan korporasi dan fragmentasi hutan.
-
Tuntutan Tanggung Jawab
Publik menuntut agar kepemilikan bisnis yang terkait dengan penguasaan lahan harus terbuka dan bertanggung jawab penuh atas dampak ekologis yang ditimbulkannya, terutama jika terbukti ada pelanggaran tata ruang atau perizinan yang memicu degradasi lingkungan.
Isu ini menggarisbawahi bahwa tata kelola lahan yang buruk, terlepas dari pemiliknya, adalah bom waktu bencana yang mengancam keselamatan jutaan warga.
Baca Juga: BPBD Jabar: Bencana Sumatera jadi 'Alarm' Serius untuk Jawa Barat
Menuntut Komitmen dan Tata Kelola Lingkungan
Bisa dikatakan, bencana Sumatera ini adalah krisis ganda, yakni Krisi kemanusiaan dan krisi ekologis. Pemerintah harus segera mempertimbangkan kembali penetapan status Bencana Nasional untuk memastikan proses pemulihan berjalan cepat dan efektif.
Lebih dari itu, kasus ini harus menjadi momentum bagi Pemerintah untuk melakukan audit lingkungan secara menyeluruh dan berani mencabut izin perusahaan yang terbukti melanggar dan berkontribusi pada kerusakan lingkungan di wilayah hulu.
Tanggung jawab korporasi tidak hanya sebatas keuntungan, melainkan juga menjaga keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat.
Kami ingin tahu pendapat Warginet, apakah kamu setuju Bencana Sumatera harus ditetapkan sebagai Bencana Nasional?


2.jpg)
4.jpg)
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.