Garut Dikepung 567 Bencana: Analisis Mengapa Mitigasi Kita Masih Jalan di Tempat
Garut, Infogarut.id — Kabupaten Garut kembali menjadi sorotan nasional setelah data menunjukkan daerah ini dikepung oleh ratusan kejadian bencana alam setiap tahunnya.
Tercatat, hingga akhir tahun 2025, Garut mencatatkan angka kejadian bencana hingga 567 peristiwa, mayoritas didominasi oleh bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan angin kencang.
Ancaman yang nyata dan berulang ini memicu analisis kritis: mengapa upaya mitigasi dan penanggulangan bencana di Garut terkesan berjalan lambat dan belum mampu menekan angka kerugian?
Garut: Mini Market Bencana yang Mengkhawatirkan
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Garut mengonfirmasi bahwa kondisi geografis Garut memang membuatnya rentan. Topografi curam di wilayah selatan dan ancaman sesar aktif Sesar Garsela di wilayah tengah menjadi faktor alamiah.
"Namun, faktor utamanya adalah degradasi lingkungan di hulu. Tingginya angka 567 kejadian ini adalah alarm serius bagi kita semua," ujar seorang pejabat BPBD yang enggan disebutkan namanya, Senin (9/12).
Kejadian bencana hidrometeorologi, yang mencapai lebih dari 90% dari total peristiwa, menunjukkan adanya korelasi kuat antara intensitas hujan ekstrem dan kondisi tata ruang yang buruk, terutama alih fungsi lahan di kawasan penyangga air.
Audit Lahan Kritis Mendesak
Dr. Iwan Setiadi, seorang pengamat lingkungan dari Universitas Garut, menjelaskan bahwa mitigasi struktural dan non-struktural yang ada saat ini belum memadai untuk menghadapi laju kerusakan lingkungan.
"Ketika lahan curam yang seharusnya ditumbuhi pohon besar dialihfungsikan menjadi perkebunan monokultur atau pemukiman, daya serap air hilang. Kecepatan aliran air (run-off) meningkat drastis, memicu erosi dan longsor. Ini hukum alam," jelas Dr. Iwan saat dihubungi Infogarut, Selasa (10/12).
Dr. Iwan mendesak Pemkab Garut untuk segera melakukan audit dan pengetatan izin alih fungsi lahan di wilayah kritis, terutama di kawasan hulu sungai-sungai besar yang melintasi Garut.
Mitigasi Non-Struktural Belum Merata
Meskipun Pemkab Garut telah berupaya merumuskan Standar Operasional Prosedur (SOP) kebencanaan dan menggalakkan program Desa Tangguh Bencana (Destana), implementasinya di lapangan dinilai belum merata dan optimal.
-
Sistem Peringatan Dini (EWS): Penerapan EWS di kawasan rawan, seperti bantaran sungai Cimanuk atau lereng Sesar Garsela, masih terbatas. Banyak warga di zona merah yang mengandalkan informasi manual atau konvensional, bukan sistem peringatan dini yang terintegrasi.
-
Anggaran Preventif: Anggaran yang dialokasikan untuk penanganan darurat (responsif) seringkali jauh lebih besar daripada anggaran untuk pencegahan (preventif) dan mitigasi struktural jangka panjang.
-
Pengendalian Tata Ruang: Peraturan tata ruang masih dinilai lemah dalam mengendalikan pembangunan dan ekspansi pertanian di kawasan konservasi dan lereng curam, yang seharusnya menjadi area terlarang.
Baca Juga: Akses Terputus, Warga Bungbulang Garut Terisolasi Setelah Jembatan Ambruk
Desakan Agar Pemkab Ambil Langkah Tegas
Angka 567 bencana menunjukkan bahwa Garut berada dalam kondisi darurat ekologis. Para pemerhati publik mendesak Pemkab Garut untuk segera mengambil langkah yang lebih tegas dan komprehensif:
-
Pemberlakuan Moratorium: Menerapkan moratorium atau penghentian sementara seluruh izin alih fungsi lahan di kawasan hulu yang kritis.
-
Rehabilitasi Masif: Mengalokasikan dana besar untuk rehabilitasi lahan dan penghijauan kembali di wilayah-wilayah yang paling parah degradasinya.
-
Peningkatan Kesiapsiagaan: Memastikan seluruh desa rawan bencana memiliki EWS yang berfungsi dan jalur evakuasi yang jelas.
Tanpa langkah mitigasi total dan pengawasan tata ruang yang ketat, Garut akan terus terjebak dalam siklus bencana yang berulang, dengan korban jiwa dan kerugian materiil yang terus bertambah.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.