Ketika Kabupaten Limbangan Garut Dibubarkan Daendels, Apa Penyebabnya?


Semasa penjajahan kolonial Belanda, tersebutlah Gubernur Jenderal yang dikenal memiliki kepribadian yang kuat dan bertugas membangun kekuasaan Belanda di Jawa, Herman Willem Daendels. Setelah VOC bangkrut karena berbagai kelalaian, Daendels mengemban tugas mulia untuk mempertahankan Jawa sebagai sumber keuangan Belanda dari ancaman Inggris.

Kedatangannya Daendels menjadi mimpi buruk bagi Bupati Limbangan. Pasalnya, Deandels menganggap bahwa saat itu Kabupaten Limbangan (kini menjadi Garut) hanya berupa kawasan pedalaman yang tak memilki arti apa-apa, sehingga mendorong Daendels untuk membubarkan Kabupaten Limbangan.

Dilansir dari laman masalewat.home.blog, disebutkan setelah menghimpun data dari Sulaeman Anggapradja dalam bukunya Sejarah Garut dari Masa ke Masa (1984), Jan Breman dengan Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870 (2014) dan Sartono Karodirjo dengan Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium (1988) dapat menjelaskan peristiwa bubarnya Limbangan.

Pembubaran Kabupaten Limbangan terjadi pada tahun 1811. Kawasan Priangan hanya terdiri dari Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang. Kabupaten Limbangan kemudian digabungkan dengan Kabupaten Parakanmuncang bersama dengan Kabupaten Soekapura (kini Tasikmalaya). Alasannya karena dua hal. 

Pertama, dampak dari kebijakan reformasi birokrasi. Daendels melakukan sistematisasi dengan pembagian ulang kabupaten-kabupaten di Priangan. Kekuasan VOC di Jawa yang dijalankan secara semrawut dari administrasi dan peraturan, seperti tidak adanya peta wilayah Jawa yang jelas dengan data statistik dan ekonomi yang tidak akurat, menjadikan Belanda sulit mengenal seluk-beluk Jawa. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Daendels menyederhanakan sistem pemerintahan yang hierarkis. Pembagian ulang kawasan Priangan diharapkan menjadi jalan bagi pemerintahan kolonial Belanda lebih efektif.

Para bupati di Jawa yang semula otonom pun dianggap sebagai pegawai pemerintah Belanda. Tujuannya supaya menghapus sistem feodal yang tidak sejalan dengan semangat ekonomi liberal. Hal tersebut menjadikan pemerintah kolonial dapat mengangkat dan memberhentikan bupati.

Pejabat di bawah bupati ditentukan dan diangkat oleh pemerintah. Pejabat kabupaten diberi pangkat serupa jabatan orang-orang Eropa di pemerintahan. Daendels membuat kebijakan para bupati digaji sebesar 4.000 ringgit. Bupati akan mendapat sepersepuluh dari hasil panen kopi atau tanaman ekspor lainnya. Pemerintah juga mengatur sebagian yang didapat bupati harus dibagikan ke bawahannya dan pejabat kabupaten mendapat keuntungan berupa hasil dari sawah-sawah petani. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan laba bagi pemerintah. Namun, di sisi lain hal itu dikhawatirkan meresahkan petani dan para pejabat bawahan. Lalu membuat proses tanam menjadilebih berat dan memengaruhi keuntungan yang masuk ke kas kolonial.

Alasan kedua karena persoalan wajib serah kopi. Daendels mempertahankan sistem VOC, ia meneruskan kebijakan wajib serah kopi untuk daerah Priangan karena pemasukan untuk pemerintah besar. Sayangnya, produksi kopi daerah Limbangan tahun 1810-1811 menurun hingga titik paling rendah. Padahal, menurut catatan penanaman kopi di Limbangan sebelumnya bisa mencapai 364.320 pohon.

Selain itu, Bupati Limbangan menolak menanam nila (indigo), padahal tanaman itu diupayakan kolonial untuk ditingkatkan produksinya selain kopi. Produksi perkebunan di Limbangan menurun, perhatian Deandels kepada Limbangan juga semakin menurun. Daendels mengabaikan kabupaten ini.

Dua sebab itu yang menjadikan Kabupaten Limbangan dibubarkan. Lewat reformasi birokrasi, Deandels melakukan penataan ulang terhadap kabupaten di Priangan menjadi lebih sederhana. Bupati Limbangan diberhentikan dari jabatannya. 

Kabupaten Limbangan dibentuk kembali tahun 1813 setelah kekuasaan beralih ke tangan Raffles.

 

Sumber materi : masalawas.home.blog

Sumber foto : kompas.com


0 Komentar :

    Belum ada komentar.